Oleh: Bakry Liwang, Ph.D*
Kesuksesan semu alias isomorphic mimicry dapat terjadi di sekolah. Mulai pada aspek kurikulum, guru, murid, dan hingga manajemen.
Isomorphic mimicry adalah istilah yang bermula pada fenomena kehidupan hewan dan habitatnya. Diketahui, di habitat hutan terdapat dua jenis ular, yaitu eastern coral snake yang dikenal dengan ular karang timur dan satunya scarlet king snake dikenal dengan ular raja merah.
Kedua ular tersebut memiliki warna hitam, kuning, dan merah yang sama sehingga membuat keduanya sangat mirip, namun terdapat perbedaan signifikan pada racun yang dihasilkan. Ular karang timur adalah ular paling berbahaya dan berbisa, sedangkan ular raja merah tidak berbisa.
Hal inilah yang membuat ular raja merah bisa bertahan hidup di habitatnya hanya karena mirip dengan ular karang timur. Kondisi ini disebut isomorphic, situasi menguntungkan yang diperoleh hanya karena mirip dengan sesuatu. Lebih jauh fenomena isomorphic mimicry merupakan kondisi yang menggambarkan suatu keberhasilan atau kesuksesan, padahal sesungguhnya tidak terjadi/tidak dimiliki atau disebut kesuksesan semu.
Apakah isomorphic mimicry dapat terjadi juga pada tingkat satuan pendidikan? Tulisan ini akan mengurai bentuk isomorphic mimicry di satuan pendidikan. Bagaimana kesuksesan semu dapat terjadi pada aspek kurikulum, guru, murid, dan manajemen sekolah.
Membayangi Sekolah
Satuan pendidikan merupakan kelompok layanan pendidikan yang melaksanakan layanan pendidikan secara berjenjang, mulai dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Sekolah merupakan layanan pendidikan dasar dan menengah tentu memiliki peran penting dalam mengembangkan potensi murid sehingga dapat menjadi warga masyarakat yang bertanggung jawab.
Dalam dekade terkahir ini peran penting sekolah dibayangi dengan fenomena isomorphic mimicry. Ada beberapa kondisi yang menunjukkan keberhasilan semu terjadi di sekolah.
Pertama, perubahan kurikulum yang dicanangkan oleh pemerintah –baik itu kurikulum 2013, maupun kurikulum merdeka– telah mengubah banyak hal. Mulai dari paradigma pembelajaran, hingga bentuk administrasi guru. Sekolah yang mengimplementasikan kurikulum baru makin bertambah setiap tahun.
Saat ini jumlah Implementasi Kurikulum Merdeka (IKM) dilakukan di 153.621 sekolah. Apabila sekolah mengikuti program IKM hanya untuk perubahan status sekolah atau sekadar memenuhi tuntutan pemerintah maupun yayasan, maka sesungguhnya tidak akan membuat perubahan dan perbaikan pada sekolah tersebut.
Selain itu dokumen kurikulum operasional satuan pendidikan (KOSP) telah dibuat dengan lengkap, modul ajar dan modul proyek P5 diselesaikan setiap awal semester. Sayang, itu dipahami hanya sebagai syarat administrasi, sehingga akibatnya satuan pendidikan terjebak pada kesuksesan semu yang sesungguhnya tidak akan mengubah apa pun.
Kedua, Sekolah dengan tenaga pendidik lulusan sarjana dan pascasarjana dari kampus ternama yang selalu dicatatkan pada brosur dan profil sekolah, sehingga menjadi kebanggaan sekolah. Ketika guru yang memiliki pendidikan tinggi tidak dibarengi dengan kemampuan pedagogik yang kuat, maka sesungguhnya ini pun mengarah pada kesuksesan semu.
Ditambah lagi dengan jumlah guru yang mengikuti program profesi guru (PPG) dan memiliki sertifikasi pendidik makin bertambah, namun tidak optimal dalam meningkatkan kompetensi pedagogik dan profesional guru. Program guru penggerak juga makin banyak diikuti oleh guru pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, namun tidak cukup kuat bergerak dalam menciptakan perubahan disekolah.
Selain itu sekolah hanya berlomba dalam meningkatkan jumlah akses platform merdeka mengajar (PMM) untuk mencapai 100 persen, karena dengan itu menjadikan sekolah berhasil dan diapresiasi oleh pemerintah, maupun yayasan. Namun jika ke semua hal tersebut tidak dapat mengubah cara guru dalam membelajarkan murid, maka sesungguhnya sekolah terjebak pada kesuksesan semu. Tampak sukses, namun sesungguhnya tidak.
Bahayakan Pendidikan
Ketiga, setiap tahun ajaran baru kita mendengarkan beberapa sekolah tidak bisa mendapatkan murid, bahkan terancam ditutup sehingga untuk sekolah yang selalu mendapatkan jumlah siswa sangat banyak bahkan di beberapa sekolah, mencapai kuota lebih awal tentu menjadi kebanggaan dan kesuksesan tersendiri. Jumlah siswa yang banyak tentu menambah jumlah dana bantuan pemerintah yang diberikan.
Selain itu siswa yang banyak menunjukkan bahwa sekolah masih dipercaya oleh masyarakat luas, namun siswa yang banyak tersebut tidak sebanding dengan potensi anak yang bisa dikembangkan, dan tidak sebanding dengan prestasi yang ditorehkan. Sering kita temukan sekolah dengan jumlah murid ratusan hingga ribuan orang, namun murid yang berprestasi kurang dari 10 persen. Sungguh, ini juga bagian dari kesuksesan semu.
Keempat, manajemen sekolah yang meliputi pengelolaan sarana dan prasarana yang berfokus pada pembangunan fisik saja sehingga sekolah memiliki gedung bagus dengan ruang kelas yang luas dilengkapi dengan fasilitas laboratorium paripurna, namun tidak dimanfaatkan dalam proses pembelajaran dan tidak terbangun budaya belajar murid.
Hal lain juga terjadi pada sekolah yang berfokus pada pengembangan fasilitas perpustakaan dengan buku yang banyak, memiliki sistem e-library dengan ribuan buku digital, namun belum terbangun budaya membaca pada murid dan nilai literasi tetap rendah. Sungguh, ini menunjukkan isomorpic mimicry atau kesuksesan semu, tampak sukses dan berhasil, padahal sesungguhnya gagal.
Oleh karena itu dalam menyikapi fenomena tersebut dibutuhkan perhatian dan peran semua pihak. Baik dari pemerintah, masyarakat, dan pengelola pendidikan. Dalam setiap program yang dilakukan tidak cukup sebatas output yang dihasilkan, tetapi perlu difokuskan pada outcome dan impact yang diperoleh.
Harapannya ke depan untuk setiap program yang dilakukan di satuan pendidikan atau sekolah, mulai dari program implementasi kurikulum, pengembangan guru, pembelajaran murid, dan transformasi manajemen sekolah harus memfokuskan pada dampak yang diperoleh. Dengan demikian, bisa menjauh dari fenomena isomorphic mimicry. (*)
*Penulis merupakan Kepala SMA Islam Athirah Bukit Baruga, Makassar dan alumni Universiti Teknologi Malaysia