Oleh: Kathryn Wellen
didasarkan penelitian Tristan Mostert dll
Dahulu kala, orang-orang di Belanda berpikir bahwa mereka bisa jatuh dari tepi dunia. Mereka menggambar peta di mana ujung-ujung dunia dihuni oleh raksasa imajiner.
Dahulu kala, orang-orang di Sulawesi berpikir bahwa mereka bisa berlayar ke langit. Mereka menulis cerita tentang orang-orang yang turun dari syurga.
Akhirnya orang-orang mengetahui bahwa bumi sebenarnya berbentuk seperti bola. Mereka mulai menggambarkan bumi dengan model tiga dimensi yang disebut bola dunia. Di sisi berlawanan dari bola-bola ini, ada dua kota yang berbeda: Amsterdam dan Makassar.
Pada abad ketujuh belas, Amsterdam adalah kota kosmopolitan yang ramai. Itu adalah rumah bagi berbagai jenis orang termasuk orang Yahudi dari Spanyol dan Kristen Puritan dari Inggris. Amsterdam adalah bagian dari Kerajaan Belanda sekarang, tetapi pada saat itu merupakan bagian dari Republik Tujuh Belanda Bersatu.
Pada abad ketujuh belas, Makassar juga merupakan kota kosmopolitan yang ramai. Kota ini adalah rumah bagi berbagai jenis orang termasuk orang Melayu dari Malaka dan orang India dari Gujarat. Makassar adalah bagian dari Republik Indonesia sekarang, tetapi pada saat itu Makassar adalah bagian dari kerajaan kembar Goa dan Tallo’.
Waktu itu Amsterdam adalah pusat komersial yang penting. Kota ini berdagang dengan bagian lain dari Eropa serta dengan Afrika, Amerika dan Asia. Para pengusaha dari Amsterdam dan kota-kota Belanda lainnya mendirikan salah satu organisasi kapitalis global paling awal di dunia: Persatuan Perusahaan Hindia Timur atau Kompeni. Perusahaan ini adalah satu-satunya organisasi Belanda yang diizinkan pemerintah Belanda untuk berdagang di Asia.
Waktu itu Makassar juga merupakan pusat komersial yang penting. Beras dan besi yang diproduksi di dekat Makassar dihargai di seluruh kepulauan Indonesia. Makassar juga adalah pintu gerbang penting ke Maluku di mana rempah-rempah seperti cengkeh dan pala tumbuh. Para penguasa Goa dan Tallo’ ingin mempertahankan kebebasan laut sehingga para pedagang dapat datang dan pergi sesuka hati mereka.
Semasa perdagangan Amsterdam berkembang, kota ini menjadi semakin kosmopolitan. Pada tahun 1631 Westerkerk dibuka. Ini adalah gereja pertama di Amsterdam yang dibangun untuk umat Protestan. Pedagang yang bersukses membiayai renovasi saluran air kota, yang memungkinkan barang dengan mudah diangkut di sekitar kota.
Semasa perdagangan Makassar berkembang, kota ini menjadi lebih kosmopolitan. Sebuah masjid dibangun untuk mengakomodasi pedagang Muslim bahkan sebelum penguasa Goa dan Tallo’ sendiri masuk Islam. Orang Kristen juga bebas menjalankan agamanya; dan dengan jatuhnya Malaka Portugis ke tangan Belanda pada tahun 1641, banyak pedagang Portugis berpindah ke Makassar. Fasilitas pelabuhan untuk mengakomodasi beragam komunitas tumbuh.
Pada abad ketujuh belas, perdagangan internasional sulit bagi orang-orang di Eropa. Mereka tidak menghasilkan banyak barang yang memiliki nilai tinggi di pasar dunia. Sebaliknya, mereka menggunakan keterampilan pelayaran dan perang mereka untuk membangun jaringan perdagangan yang jauh.
Pada abad ketujuh belas, perdagangan internasional juga sulit bagi orang-orang di Maluku. Rempah-rempah dari pulau-pulau ini sangat, sangat berharga di pasar dunia. Semua orang menginginkannya, tetapi ini tidak semuanya baik. Kadang-kadang orang sangat menginginkan rempah-rempah sehingga mereka membunuh orang lain untuk mendapatkannya.
Orang Belanda dan Makasar termasuk di antara orang-orang yang menginginkan rempah-rempah Maluku. Kompeni mendirikan kantor pusatnya di Asia di Batavia, sekarang Jakarta, dan mengirim agen-agen ke Maluku untuk memastikan pasokan rempah-rempah yang stabil. Belanda juga mendirikan loji di Makassar bersama dengan orang-orang Eropa lainnya seperti Inggris dan Portugis. Kompeni Inggris menyebut Makassar sebagai “salah satu bunga yang paling istimewa di Taman kami.”
Orang Makassar juga mengirim agen-agen perdagangan ke tempat lain untuk memfasilitasi pembelian rempah-rempah. Karaeng Matoaya, penguasa Tallo’ dan kanselir Raja Goa, mempertahankan agen perdagangan di Kepulauan Banda untuk memastikan pasokan rempah-rempah yang stabil untuk Makassar. Suatu kali Karaeng Matoaya bahkan membujuk Kompeni Inggris untuk menjual pengiriman cengkeh di Inggris atas namanya.
Di Makassar, putra Karaeng Matoaya, Karaeng Pattingalloang, sangat tertarik dengan cara-cara orang asing. Ia belajar berbicara bahasa Spanyol dan Portugis dengan lancar dan membaca bahasa Latin. Ia mempelajari agama-agama Muslim dan Kristen dan mengambil minat khusus dalam politik dan matematika. Ia juga sangat tertarik pada geografi dan astronomi. Untuk memuaskan rasa hausnya akan pengetahuan, Karaeng Pattingalloang mengumpulkan koleksi buku-buku yang mengesankan dalam berbagai bahasa.
Di Amsterdam, Joan Blaeu juga sangat tertarik pada geografi. Dia mendirikan sebuah perusahaan yang memproduksi peta-peta yang gemilang. Dia mengandalkan Kompeni untuk mendapatkan informasi tentang tempat-tempat yang diperdagangkan dan dia memasukkan informasi ini ke dalam petanya. Dia menerbitkan buku peta yang disebut Atlas Maior. Ini adalah buku terbesar dan termahal yang diterbitkan pada abad ketujuh belas.
Pada tahun 1644 Karaeng Pattingalloang memesan bola dunia yang sangat besar dari Kompeni. Dia menginginkan globe yang berukuran lebih dari satu meter. Ini dua kali ukuran bola dunia terbesar yang tersedia di Republik Belanda pada saat itu. Para pedagang Belanda di Makassar setuju untuk menyediakan globe ini untuknya. Mereka mengirim pesanan ke Amsterdam, dengan perkiraan bahwa pembuatannya akan memakan waktu satu setengah tahun dengan biaya 250 real.
Joan Blaeu membuat bola dunia itu di Amsterdam. Ia membutuhkan waktu lima setengah tahun. Belum pernah ada yang pernah dibuat di Belanda sebelumnya. Para direktur Kompeni menyebutnya sebagai “karya luar biasa yang dikagumi oleh banyak orang di negeri ini.” Bahkan, mereka berpikir bahwa bola dunia itu cukup luar biasa untuk menjadi hadiah bagi Kaisar Jepang.
Joan Blaeu menerima 5.000 gulden untuk bola dunia itu, yang mungkin lebih dari dua kali lipat dari uang yang diterima pelukis mashyur Rembrant untuk magna opus Nachtwacht (Penjaga Malam).
Kompeni mengirimkan bola dunia itu ke Asia dengan kapalnya, Gajah. Kapal itu mengitari Tanjung Harapan dan singgah di Batavia sebelum akhirnya sampai di Makassar.
Enam setengah tahun setelah dipesan, bola dunia itu sampai di Makassar. Belanda menagih Karaeng Pattingalloang 11592 gulden untuk bola dunia itu, harga yang sama dengan harga sebuah rumah kanal di Amsterdam. Ini lebih dari empat kali lipat dari yang diperkirakan Karaeng Pattingalloang. Karaeng Pattingalloang sangat terkejut dengan harga ini sehingga ia menolak pengiriman bola dunia tersebut.
Kompeni juga terkejut. Tidak dibayar untuk bola dunia yang begitu mahal adalah masalah bagi perusahaan yang pelit [sadar akan uang] ini. Pada tahun 1651 mereka mengutus Arnold de Vlamingh untuk mengunjungi Karaeng Pattingalloang. Mereka mendiskusikan banyak hal yang berbeda termasuk politik Eropa dan perdagangan rempah-rempah. Mereka juga berbicara tentang bola dunia itu. Karaeng Pattingalloang setuju untuk membayar penuh tetapi dalam waktu sendiri dan dalam bentuk barang dagangan, bukan uang tunai.
Tetapi bahkan kemudian Karaeng Pattingalloang tidak mengambil bola dunia itu. Pada tahun 1652 bola dunia itu masih tetap berada di loji Belanda di Makassar. Tahun berikutnya dipindahkan ke unit penyimpanan pedagang Portugis. Tidak diketahui apakah Karaeng Pattingalloang memiliki bola dunia itu sebelum kematiannya pada tahun 1654 atau tidak.
Dua tahun setelah kematian Karaeng Pattingalloang, putranya membawa bola dunia itu kembali ke loji Belanda. Pegawai Kompeni menyesalkan bahwa bola dunia itu tidak pernah dibayar dan sekarang sebagian besar telah hancur. Mereka mempertimbangkan untuk menggunakannya sebagai hadiah, tetapi tidak jelas apakah hal ini pernah terjadi. Bahkan, tidak ada yang tahu persis apa yang terjadi pada bola dunia ini.
Bola dunia Karaeng Pattingalloang hilang, tetapi Ratu Christina dari Swedia memesan bola dunia serupa. Tetapi dia juga tidak bisa membayarnya. Jadi, bola dunia itu tetap berada di Amsterdam di mana banyak pengunjung mengaguminya. Ketika Peter Agung melihatnya saat berkunjung pada tahun 1697, ia membelinya dan mengirimkannya ke Rusia. Sekarang disimpan di Museum Sejarah Nasional di Moskow.
Ketertarikan Karaeng Pattingalloang dan Ratu Christina pada bola dunia membuktikan keinginan kita untuk memahami planet asal kita. Para penguasa mungkin secara khusus tertarik untuk mengetahui posisi negara mereka dalam hubungannya dengan negara lain, tetapi semua orang ingin memahami dunia yang kita miliki bersama. Meskipun kita mungkin tinggal di sisi dunia yang berlawanan, kita berbagi lebih dari sekadar planet. Kita berbagi pengalaman seperti Amsterdam dan Makassar. Kita berbagi sejarah. (*)