Tim yang terdiri Bidang Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan (SDKP), Cabang Dinas Kelautan (CDK) Mamminasata, Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (BPSPL), personel TNI AL-Ditpolairud Polda Sulsel, Pokmaswas Pulau Satangnga, serta Satu Kata Institute sebagai pendamping, turun melakukan penindakan secara persuasif, pada Kamis, 23 November, lalu.
Mereka mendatangi sejumlah warga yang diduga melakukan pembabatan mangrove di Pulau Satangnga dan Bauluang. Tim gabungan ini kemudian memberikan peringatan keras terkait konsekuensi hukum yang akan diterima warga apabila tidak berhenti melakukannya.
“Kami turun dengan cara yang persuasif dahulu, memperingati warga agar tidak lagi melakukan pembabatan mangrove, karena ini jelas merusak ekosistem laut,” ujar Kepala CDK Mamminasata, Sayyid Zainal Abidin.
Sayyid yang memimpin tim gabungan melakukan penindakan ini juga menyapaikan kepada warga bahwa pembabatan mangrove yang terjadi adalah bentuk pengrusakan ekosistem alam. Hanya akan memperburuk dampak krisis iklim bagi masyarakat.
Para nelayan, kata dia, akan kehilangan sumber penghasilan. Kemudian menghadapi abrasi, dan terancam tenggelam karena kenaikan permukaan air laut.
“Maka sudah seharusnya pembabatan mangrove dihentikan, dan masyarakat sadar demi kelangsungan hidup mereka,” tandasnya.
Perusakan Sistematis
Dari informasi yang didapatkan, warga di Pulau Satangnga dan Bauluang melakukan pengerusakan mangrove secara sistematis. Mereka menjual mangrove dalam bentuk arang dengan harga Rp90 ribu per karung kepada para tengkulak, meski di pasaran, harganya bisa mencapai Rp150 ribu untuk satu karungnya.