Oleh : Muliyadi Hamid
Polemik tentang format debat calon Presiden (capres) dan calon Wakil Presiden (cawapres) untuk pemilihan presiden (pilpres) tahun 2024 masih terus bergulir hingga hari ini. Rencana Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengubah format debat terus menuai kritik. KPU berencana meniadakan debat cawapres secara head to head, melainkan debat dalam format berpasangan. Meski belum final, wacana tersebut sudah memunculkan banyak dugaan terkait netralitas penyelenggara pemilu. Sebab, masyarakat menilai format debat berpasangan tersebut adalah upaya menutupi kelemahan cawapres tertentu.
Budaya debat capres dan cawapres yang telah berlangsung sejak pilpres 2014 menjadi suatu tonggak semakin bermutunya demokrasi di Indonesia. Sebuah ikhtiar untuk menghadirkan pemimpin yang tidak sekadar popular, tetapi juga memiliki gagasan yang baik tentang kemana bangsa ini akan di bawa. Ini menggambarkan pula kekuatan kepemimpinan yang dimiliki yang dapat meyakinkan rakyat akan kekuatan pcalon pemimpinannya. Jangan malah berupaya untuk disamarkan di hadapan public.
Alasan kekompakan antara capres dan cawapres yang dikemukakan sebagai alas an mengubah format debat, khususnya menghilangkan debat antar cawapres tmapaknya sulit diterima akal sehat. Karena kekompakan dan kerjasama yang baik antara capres dan cawapres bukan dilihat dari tampilnya secara bersama-sama dalam debat. Tapi justru bagaimana mereka melihat masalah, khususnya kemampuan mengelaborasi visi dan misi yang diuraikan secara terpisah. Jika tampil bersama tentu tidak bisa dinilai kesamaan pandangannya dalam mengurai visi dan misi.
Bukan hanya itu, debat sebagai salah satu cara terbaik bagi pemilih untuk menilai kapasitas individu setiap calon. Baik capres maupun cawapres. Kapasitas individu setiap calon sangat penting bagi pemilih untuk menentukan pilihan. Bukan hanya untuk capres tapi juga bagi seorang cawapres. Sebab, posisi Wakil Presiden bukanlah sekadar pendamping, tapi harus senantiasa bersiap menggantikan posisi Presiden jika sewaktu-waktu Presiden berhalangan. Terutama jika terpaksa berhalangan tetap. Dengan demikian, seperti yang pernah disampaikan pak Jusuf Kalla, bahwa kapasitas cawapres seyogianya tidak bisa berbeda jauh, atau bahkan sebaiknya sama dengan Presiden.
Bayangkan, jika seorang Wakil Presiden tidak memiliki kapasitas mumpuni dan tiba-tiba harus mengambil tanggungjawab sebagai Presiden tentu sangat berbahaya bagi kelangsungan pemerintahan.
Sebagai pemilih, rakyat hendaknya diberikan kesempatan lebih banyak dan lebih dekat mengenal kemampuan dan gagasan setiap calon pemimpinnya. Karena itu, KPU semestinya tidak perlu mengubah format debat sebagaimana telah diatur dalam UU dan telah berlangsung pada pilpres sebelumnya. (*)