Kontradiksi kedua, keberhasilan penurunan emisi sebesar 42 persen pada tahun 2020-2022 dibandingkan BAU tahun 2015 adalah manipulasi angka melalui teknik cherry picking. Emisi pada tahun 2015 adalah emisi tertinggi pada rentang periode tahun 2000-2020. Laporan IGRK (Inventarisasi Gas Rumah Kaca) KLHK sendiri menyebut emisi pada 2015 mencapai 2.339.650 Gigaton CO2e. Emisi tertinggi bersumber dari kebakaran hutan dan lahan, terutama pada ekosistem gambut.
Pada tahun-tahun berikutnya kecuali tahun 2019, emisi berkisar pada angka dibawah 1.5 juta Gigaton CO2e. Harusnya klaim pengurangan emisi didasarkan pada BAU tahun tanpa kebakaran hutan dan lahan terutama di ekosistem gambut. Pada 2020-2022 juga masuk dalam tahun pandemi yang menurunkan cukup signifikan emisi di beberapa sektor. Angka keberhasilan penurunan emisi yang seharusnya dicapai pemerintah sesuai dengan dokumen NDC sebesar 31 persen (BAU) dan 43 persen dengan dukungan internasional dalam jumlah emisi tahunan harus menjadi 890.000 gigaton CO2e dan 741.000 gigaton CO2e.
Kontradiksi ketiga, pidato Jokowi mengenai agenda mengurangi kemiskinan dan ketimpangan tak akan terwujud pada tahun 2060 jika tetap mempertahankan eksploitasi sumber daya alam sebagai mesin utama pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan dalam rancangan akhir RPJPN 2025-2045 sebesar 6-7 persen malah akan melanggengkan kemiskinan masyarakat Indonesia.
Pasalnya, beragam kebijakan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia justru memperburuk kehidupan masyarakat, terutama kehidupan kelompok rentan, seperti perempuan, penyandang disabilitas, petani, nelayan, masyarakat adat dan lainnya.