Oleh Putri Sari R*
Generasi Z rentan terkena gangguan kesehatan mental. Mereka cenderung melakukan perundungan kepada pihak minoritas dalam circle-nya.
Saya turut berduka cita atas rusaknya kesehatan mental generasi muda akibat dari tuntutan kehidupan liar yang dibiarkan semakin merajalela. Bukti nyata kasus-kasus yang marak di media sosial, bahkan di sekitaran kita, makin memperbesar kekhawatiran akan nasib Indonesia ke depan.
Padahal, generasi Z diharapkan sebagai generasi emas penggerak. Namun, harapan besar tersebut berkemungkinan berujung malapetaka apabila dibiarkan merajalela. Data Indonesia-National Adolescent Mental Health Survey 2022 mengungkap, sebanyak 34,9 persen (15,5 juta) remaja mengalami masalah mental dan sebanyak 5,5 persen (2,45 juta) mengalami gangguan mental.
Dari jumlah itu, baru 2,6 persen yang mengakses layanan konseling, baik emosi maupun perilaku.
Tren Gangguan
Maraknya kasus gangguan mental terbilang luas penyebarannya. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain lingkup pertemanan, tekanan akademik, faktor keluarga, dan masalah ekonomi.
Generasi Z rentan terkena gangguan kesehatan mental mulai dari kaum pelajar/mahasiswa sampai dengan yang sudah bekerja. Mereka ini cenderung melakukan perundungan kepada pihak minoritas dalam circle-nya.
Berdasarkan data Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) bahwa terdapat empat kasus terjadi pada awal masuk tahun ajaran baru, Juli 2023. Kasus perundungan mayoritas terjadi di SD (25 persen) dan SMP (25 persen), lalu di SMA (18,75 persen) dan SMK ( 18,75 persen), MTs (6,25 persen), dan Pondok Pesantren (6,25 persen).
Persentase kekuasaaan menjadi acuan besar sehingga pelaku perundungan masih berkeliaran di sekitar kita. Pelaku cenderung memanfaatkan kelebihan dan keunggulan yang dimiliki untuk mengerdilkan orang lain. Perundungan yang biasa terjadi hanya diawali dengan perundungan verbal, tetapi kemungkinan bisa berlanjut pada perundungan fisik.
Meskipun tindakan liar sejenis perundungan sudah ada sejak lama, melonjak drastis karena pengaruh media sosial. Apalagi, hampir semua orang sudah memiliki akun media sosial. Itu pula yang menjadi rantai penghubung mereka dengan kehidupan liar saat ini tanpa adanya batasan. Hal tersebut bahkan digandrungi oleh siswa SD.
Rosmalina & Khaerunnisa (2021) berpendapat, penggunaan media sosial kerap kali digunakan untuk menimbulkan perasaan baik, namun tanpa disadari media sosial dapat menjadi bumerang bagi penggunanya. Sehingga dapat menimbulkan hal-hal yang bersifat buruk. Selain dapat memberikan efek kuat bagi perilaku, media sosial juga dapat menimbulkan masalah pada kesehatan mental bagi penggunanya.
Peran Generasi
Gangguan kesehatan mental muncul bukan hanya karena faktor dalam diri korban, tetapi banyak faktor luar yang menyebabkan itu terjadi, seperti teman sesama gen Z, peran orang tua, dan ketidakmaksimalan pelayanan kesehatan pada korban.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) 2023, populasi Generasi Z di kisaran angka 60 juta orang. Jika dilihat dari jumlahnya, mereka memang sudah cukup kuat untuk menjadi generasi penggerak selanjutnya di Indonesia. Sayangnya, kesadaran terkait peran masih kurang menyakinkan. Mengapa demikian? Kita ketahui bersama bahwa sesama generasi Z saja masih saling menjatuhkan mental, hal tersebut menandakan bahwa persatuan generasi Z belum cukup kuat.
Selanjutnya, peran orang tua belum sepenuhnya tersalurkan dengan baik dan benar. Para korban gangguan kesehatan mental kurang merasakan peran orang tua sesuai yang dibutuhkan, kebanyakan hanya beranggapan bahwa generasi Z terlalu baperan dalam menghadapi masalah.
Keolompok M
Orang tua yang tergolong pada generasi M ini sekadar memberikan saran dan kritik tanpa membangun semangat korban. Padahal orang tua atau generasi M berperan penting sebagai motivator guna mencetak agent of change demi keberlangsungan Indonesia pada 2045.
Selain dari faktor luar yang menyebabkan meningkatnya gangguan kesehatan mental, faktor dalam diri korban tidak kalah penting untuk dibenahi. Kebiasaan generasi Z terkait self–diagnosis sangat berpengaruh pada kesehatan mental karena menjadi pemicu munculnya kekhawatiran yang sebenarnya tidak perlu, yang bisa berujung pada gangguan kecemasan umum.
Hal tersebut berkaitan dengan overthinking. Kebiasaan ini telah menjangkiti kalangan generasi Z saat ini. Jadi bisa dikatakan bahwa generasi Z belum sepenuhnya kuat untuk mengendalikan diri sendiri, khususnya pada pemikiran.
Faktor lain yang menyebabkan makin meningkatnya kasus gangguan mental adalah pelayanan kesehatan yang tidak maksimal terealisasikan. Hal ini pastinya dipengaruhi oleh kurangnya edukasi tentang pentingnya memeriksakan kesehatan mental. Selain itu, proses edukasi dan penawaran kepada para korban belum merata.
Padahal kendala terbesar yang sementara dihadapi oleh korban gangguan kesehatan mental adalah kurangnya keinginan dan keberanian untuk memeriksakan keadaan mental mereka. Sebagian besar memilih untuk terjebak dan berlarut-larut dalam masalah yang sedang menimpa.
Self-diagnosis
Ini menjadi peringatan, generasi Z sudah terjebak dalam kondisi kritis mental health. Perlu sesegera mungkin mengambil tindakan untuk mengatasi masalah tersebut demi Indonesia emas 2045.
Solusi untuk mengatasi isu mental health di kalangan generasi Z ini perlu dioptimalisasi karena mereka akan menjadi generasi penggerak selanjutnya. Alangkah lebih baik jika mereka berhenti melakukan self–diagnosis dan belajar untuk menyeimbangkan antara overthinking dengan solusi yang sehat.
Sebagai korban, mereka juga perlu keluar dari masalah yang sedang dihadapi karena pada dasarnya obat terbaik yang bisa menyembuhkan adalah diri sendiri. Selain itu, teman sesama gen Z, orang tua, dan pelayanan kesehatan mental juga berperan penting dalam proses penyembuhan para korban gangguan kesehatan mental.
Apabila semua pihak tersebut peka terhadap keberadaan korban, berarti sama halnya memperjuangkan nasib Indonesia 2045 untuk menjadi Indonesia emas tanpa rasa cemas. (*)
*Penulis adalah Mahasiswi Universitas Negeri Makassar (UNM)