English English Indonesian Indonesian
oleh

Konflik Kepentingan Capres-Cawapres

Oleh: Prof. Dr. Armin, MSi

Konflik kepentingan aktor politik, capres-cawapres, pimpinan partai politik, tim, dan pendukungnya tidak dapat dihindari. Masing-masing pihak berupaya memenangkan pasangan yang diusung.

Mereka berupaya merebut simpati dan dukungan para pemilih dengan berbagai cara. Ada yang mencari kesalahan pasangan calon, ada yang menonjolkan kelebihan pasangan calon, ada melakukan survei, ada juga hanya memanfaatkan hasil survei untuk melihat kekuatan-kelemahan.

Setidaknya ada tiga tujuan survei. Pertama, membentuk opini publik siapa yang besar peluangnya menang dalam pilpres. Kedua, memengaruhi pemilih yang ragu-ragu untuk memilih pasangan calon yang surveinya tertinggi. Ketiga, menjadi alat legitimasi apabila pasangan calon yang tinggi surveinya menang.

Survei itu bisa benar bisa keliru atau tidak tepat. Kalau sampel yang dipilih dalam survei mewakili populasi, maka hasil surveinya representatif dan hasilnya mendekati kebenaran. Makin reprentatif sampel yang dipilih, hasilnya makin mendekati kebenaran. Sebaliknya, makin tidak representatif sampel, hasilnya akan jauh dari kebenaran. Akibatnya penilaian setiap orang berbeda-beda dalam menilai hasilnya.

Setidaknya ada tiga tipe penilaian terhadap hasil survei. Pertama, kelompok yang menang menganggap survei itu jujur dan adil serta dilakukan secara baik sesuai dengan metode. Kedua, kelompok yang dirugikan menganggap bahwa hasil survei itu belum tentu benar kalau sampelnya tidak mewakili populasi. Ketiga, kelompok yang memanfaatkan hasil survei untuk mengoreksi kekuatan dan kelemahan pasangan calon yang didukung.

Silang pendapat antara pendukung pasangan capres dan cawapres tidak hanya terbatas pada hasil survei, tetapi juga pada aspek lain yang berbeda antara pendukung pasangan yang satu dengan  yang lain, misalnya perbedaan pendapat atau persepsi. Silang pendapat itu bermuara pada terjadinya konflik kepentingan antara pasangan capres-cawapres.

Ada tiga konflik kepentingan dalam pilpres ini. Pertama, konflik kepentingan antara pendukung pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka vs Ganjar Pranowo-Mahfud MD. Kedua, pendukung Prabowo-Gibran vs Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar. Ketiga, Anies-Muhaimin vs Ganjar-Mahfud. Ketiga aspek ini menarik diuraikan lebih lanjut.

Prabowo-Gibran  vs Ganjar-Mahfud

Awalnya kedua kubu ini seperti satu kesatuan, karena baik kubu Prabowo (pimpinan Joko Widodo) maupun kubu Ganjar (Pimpinan Megawati Soekarnoputri), berada pada kubu pro meneruskan kepemimpinan Joko Widodo. Tampak koalisi itu hanya melawan koalisi Anies yang mengusung perubahan.

Dalam perkembangannya, kubu  Jokowi dan Megawati berubah. Perubahan itu disebabkan oleh dua faktor. Pertama, Megawati sebagai Ketua Umum PDIP pemenang pemilu dan dapat mengusung capres sendiri. Dia mau tetap bergabung pada koalisi pro melanjutkan kepemimpinan Jokowi apabila PDIP yang menjadi capres kubu itu.

Kedua, kubu Jokowi tidak tinggal diam, pasalnya Prabowo Subianto sudah tiga kali menjadi kontestan. Keempat dengan saat ini. Tarik menarik kepentingan antara kubu Mega dan Jokowi yang mengusung koalisi Indonesia maju.

Ada tiga opsi dari koalisi Pro. Pertama, koalisi itu memasangkan Ganjar sebagai capres dan Prabowo sebagai cawapres. Kedua Prabowo Capres, Ganjar cawapres. Ketiga, kubu Mega dan Jokowi bertahan pada prinsip masing-masing.

Kubu Mega bertahan dengan tiga pertimbangan. Pertama, PDIP adalah pemenang pemilu dan dapat mengusung sendiri tanpa berkoalisi. Kedua, Jokowi adalah petugas partai yang telah  beberapa kali diuntungkan (wali kota Solo, gubernur DKI, hingga presiden RI dua periode). Selain itu, menantu Jokowi (Bobby Nasution) didukung menjadi wali kota Medan. Juga putra sulung Jokowi didukung menjadi wali kota Solo, yang saat ini terkesan dan/atau dinilai oleh banyak kalangan dipaksakan menjadi cawapres. Ketiga, sudah saatnya Jokowi membayar utang politiknya kepada PDIP yang saat ini mengusung Ganjar.

Kubu Jokowi dengan Prabowo Subianto juga bertahan dengan tiga pertimbangan. Pertama,  secara rasional pengagum Jokowi memikirkan apa peran Jokowi pasca-2024. Kalau dia ikut pada PDIP yang membesarkannya, dengan Ganjar capres, hampir dapat dipastikan ia hanya akan menjadi penonton. Karena berharap menjadi Ketum PDIP pasca-2024 agak sulit karena Puan Maharani hampir dapat dipastikan sebagai calon pengganti Mega.

Kedua, Joko Widodo lebih  berpeluang berperan usai pilpres, kalau mendukung Prabowo. Keuntungan yang diperoleh Jokowi apabila mengusung Parabowo adalah dapat mengusung anaknya, Gibran, sebagai cawapres. Prabowo juga senang memilih anak sulung Jokowi, karena para ketua partai dalam koalisi Indonesia maju legawa kalau cawapresnya  adalah anak Jokowi.

Ketiga, Joko Widodo berpeluang menjadi Ketua Umum Partai Gerindra saat Prabowo menjadi presiden. Prabowo  cukup menjadi Ketua Dewan Pembina. Ketika anaknya jadi wapres, maka Jokowi sukses mengader anaknya menjadi calon penerus kepemimpinan Prabowo setelah  dua periode menjabat presiden atau berhalangan tetap.

Prabowo-Gibran vs Anies-Muhaimin

Prabowo telah sukses mendukung Anies sebagai Gubernur DKI Jakarta. Ini konflik kepentingan keduanya. Anies juga pernah berkata, kalau Prabowo maju menjadi capres, maka ia tidak akan maju melawannya. Setelah dikonfrontasi, tampaknya yang dimaksud Anies adalah capres 2019-2024, karena waktu itu Anies sedang menjabat Gubernur DKI.

Setelah berhenti menjabat gubernur karena masa jabatan  berakhir, Anies tidak menolak ketika Partai Nasdem mengusungnya sebagai capres 2024-2029.           Karena kesuksesannya menjadi gubernur, Anies diusung oleh Nasdem, disusul Demokrat dan PKS. Mereka mengusung tema koalisi perubahan untuk persatuan. Tagline perubahan diangkat karena mau tampil beda dengan kubu Jokowi dan  Mega.

Ketiga partai pengusung mengajukan masing-masing bacwapres. Nasdem mengusung Khofifah Indar Parawansah, Gubernur Jawa Timur dan Ketua Muslimat Nahdatul Ulama (NU). Demokrat mengusung Agus Harimurti Yudoyono (AHY). PKS mengusung Ahmad Heryawan (Aher).

Masing-masing partai bermanuver untuk memperjuangkan calonnya. Akan tetapi, ketiga partai tidak sepakat untuk mengusung satu cawapres. Akhirnya, Surya Paloh, Ketum Nasdem melakukan manuver dengan melobi Muhaimin Iskandar yang sudah lama bersepakat dengan Prabowo subianto.

Waktu yang diberikan Muhaimin cukup singkat. Tetapi, Muhaimin yang melihat gelagat di koalisi Indonesia maju, Prabowo dikhawatirkan tidak memilihnya sebagai wakil. Melalui restu para kiai-sepuh NU dan PKB, serta pengurus PKB, akhirnya tawaran Surya Paloh diterima Ketua Umum PKB itu. Dalam waktu singkat, Nasdem dan PKB  mendeklarasikan Anies-Muhaimin.

Deklarasi dilakukan cepat, dengan tiga pertimbangan. Pertama, Nasdem khawatir PKB berubah kalau terlalu lama dipendam. Kedua, dikhawatirkan koalisi Indonesia maju menahan Muhaimin menjadi cawapres Anies. Ketiga, koalisi Nasdem-PKB sudah memenuhi syarat mengusung pada pilpres.

Deklarasi Anies-Muhaimin membuat Demokrat tersinggung dan memilih hengkang dari koalisi perubahan. Demokrat lama menimbang, antara bergabung dan koalisi Indonesia maju atau dengan PDIP. Setelah dilakukan lobi politik yang cukup intens, memutuskan bergabung dengan Prabowo.

PKS juga kaget dengan deklarasi Nasdem-PKB. Akan tetapi melalui lobi intensif, akhirnya PKS  mendukung koalisi perubahan.

Anies-Muhaimin  Vs Ganjar-Mahfud

Konflik kepentingan antara Anies-Muhaimin dengan Ganjar-Mahfud, karena Muhaimin  adalah Ketua Umum PKB yang notabene didukung oleh Nahdatul Ulama (NU). Sementara, Mahfud adalah kader utama NU. Apalagi, Putri Gusdur pendiri PKB, Yenni Wahid tampaknya memilih bergabung dengan Ganjar-Mahfud.

Hengkangnya Yenni dari Muhaimin disebabkan tiga alasan. Pertama, konflik masa lalu antara Yenni dengan Muhaimin dalam pemilihan Ketum PKB yang dimenangkan Muhaimin. Hal itu yang membuat Yenni keluar dari PKB. Kedua, hubungan baik dengan Mahfud sebagai anggota NU. Ketiga hubungan baik antara Yenni dengan Mega.

Tarik menarik kepentingan antara capres-ccawapres membuat Pilpres 2024 makin menarik. Partai politik pengusung, aktor politik pendukung pasangan, calon  dan tokoh masyarakat para pendukung berjibaku untuk memperjuangkan pasangan calon yang mereka dukung.

Siapakah yang keluar sebagai pemenang, penentunya adalah rakyat Indonesia pemilik kedaulatan. Rakyat hendaknya menyerahkan kedaulatan kepada pasangan calon yang dianggap paling pantas memimpin Indonesia. Figur yang mampu mengantarkan rakyat pada situasi ideal, masyarakat adil dan makmur. Makmur dalam keadilan dan adil dalam kemakmuran. (*)

*Penulis merupakan Ketua Forum Dekan Ilmu Sosial PTN se-Indonesia (2019-2021)

News Feed