English English Indonesian Indonesian
oleh

FATWA MUI YANG MENTAH

Oleh: Prof M. Qasim Mathar

Dr. Afifuddin Haritsah menulis di grup WhatsApp (WA) kepada saya: “Tabek, Prof., perlu MUI memahamkan masyarakat, perlu dibedakan antara “pendapat” pengurus MUI, “Edaran” MUI, “Fatwa” MUI, “sikap” tokoh MUI, dan “ceramah” pengurus MUI…, mohon koreksi…”

“Anda benar. Itulah yang biasa membingungkan saya, karena tidak jelas tokoh itu berbicara atas nama siapa dan apa (pribadi atau lembaga). Wartawan yang mengutip pernyataan itu juga tidak menjelaskannya”, jawab saya kepada sahabatku itu.

Percakapan pendek kami di group WA itu merespons Fatwa MUI No 83 Tahun 2023 tentang Hukum Dukungan terhadap Palestina. Fatwa MUI itu sudah melahirkan komentar yang agak liar. Maka MUI membuat lagi pernyataan bahwa MUI tidak pernah merilis daftar produk yang terindikasi membantu Israel.

“Pengamat ekonomi, Mohammad Faisal, memperkirakan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang merekomendasikan umat Islam untuk menghindari transaksi dan penggunaan produk Israel dan yang terafiliasi dengan Israel tidak akan terlalu signifikan. Dia tak yakin semua warga muslim bakal mengikuti fatwa itu lantaran memiliki ketergantungan pada produk-produk yang diklaim memihak kepada Israel”.

Prof. Dr. Andi Abdul Hamzah berkomentar, moga-moga keluarga MUI konsisten melaksanakan fatwa MUI tersebut. Fatwa Nomor 83 Tahun 2023, itu tertuang di dalamnya bahwa mendukung perjuangan kemerdekaan Palestina atas agresi Israel hukumnya wajib. Sebaliknya, mendukung Israel hukumnya haram.

Kendati demikian, fatwa tersebut tak menyebutkan produk tertentu yang haram ditransaksikan.
“Ummat Islam diimbau semaksimal mungkin menghindari transaksi dan penggunaan produk yang terafiliasi dengan Israel serta yang mendukung penjajahan dan zionisme”, begitu rekomendasi nomor 3 fatwa MUI yang sudah mengundang komentar macam-macam.

Wakil Presiden RI KH. Ma’ruf Amin, juga menyatakan, fatwa MUI tidak mengharamkan produk tertentu, tetapi mengharamkan perbuatan yang mendukung Israel. Diharapkan tidak ada perusahaan yang sebenarnya tidak mendukung Israel, tetapi turut dirugikan oleh fatwa yang mentah. Mentah karena mengundang komentar yang beragam. Mentah karena fatwa membuka ruang polemik. Mentah karena tidak ditegaskan bahwa haram “belanja” produk berbeda dengan “produk” itu haram.

Bandingkan pernyataan sikap Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah terhadap konflik Palestina dan Israel. Berbeda sekali. Fatwa MUI tidak menggambarkan keterwakilan kedua ormas Islam besar tersebut.

MUI tidak mengutip sikap kedua ormas besar itu yang justeru berada di zaman yang merasakan langsung dinamika dunia Islam di tengah tantangan global. MUI justeru mengutip pendapat dua ulama sebagai pijakan fatwanya, meski kedua ulama itu tidak merasakan dinamika konflik tersebut, karena keduanya hidup di abad yang silam.

Kenapa bukan ulama Indonesia masa kini yang ditimbang pendapatnya? Kenapa MUI bicara produk yang terafiliasi dengan Israel. Orang teringat kepada “label halal MUI”. Kalau keharaman itu hanya pada transaksi, berarti bukan haram untuk dikonsumsi dan dipakai.

Misalnya, saya tidak belanja produk itu karena haram. Tetapi, ada teman memberi kepada saya produk itu, tentu tidak haram saya pakai, makan, dan minum produk pemberian teman itu. Begitulah nasib fatwa yang setengah matang pun, tidak! (*)

*Qasim Mathar adalah salah seorang kolumnis senior FAJAR

News Feed