English English Indonesian Indonesian
oleh

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 Cacat Hukum

OLEH: Dian Fitri Sabrina, Dosen Hukum Tata Negara

Kewenangan untuk membentuk undang-undang berada di tangan lembaga pembentuk undang-undang atau legislatif. Namun dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023  telah jauh mencampuri urusan pembentuk undang-undang dengan membentuk norma baru dengan mengabulkan sebagian permohonan pemohonan.  Harusnya Mahkamah Konstitusi dalam putusannya menolak permohonan pemohon karena bukan kewenangan Mahkamah Konstitusi dan  pemohon tidak memiliki legal standing atau bukanlah pihak yang dirugikan hak konstitusionalnya terkait batas usia calon Presiden dan Wakil Presiden.

Jika kita cermati dalam  Pasal 6A Ayat (3) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Artinya Hakim Mahkamah Konstitusi harus mempertimbangkan syarat kualitas calon, rekam prestasi selama menjadi kepala daerah, calon adalah sosok yang dikenal bukan hanya di daerah tertentu saja tapi oleh seluruh rakyat Indonesia, kemampuan menjadi pemimpin dan mengurusi daerah, dan tidak mengabaikan sumpah jabatan selama 5 tahun bagi yang sedang atau masih menjadi kepala daerah hanya sekadar untuk memenuhi syarat ingin menjadi calon Presiden atau Wakil Presiden. Putusan hakim tidak cermat untuk memaknai Pasal 6A ayat (3) UUD NRI 1945 dengan menyatakan dalam putusan bahwa Pasal 169 huruf (q) undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang pemilu bertentangan dengan UUD NRI 1945. Sehingga Pasal 169 huruf (q) undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang pemilu selengkapnya berbunyi berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah, tanpa memperhatikan parameter yang jelas apakah kepala daerah yang dimaksud tersebut mampu mengurusi negara dengan luas dan jumlah penduduk jauh dari luas dan jumlah penduduk di tingkat daerah provinsi, kabupaten atau kota.

Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan binding tidak ada lagi putusan setelahnya dan harus dilaksanakan setelah dibacakan dan sifatnya mengikat. Persoalan sekarang adalah apakah penyelenggara pemilu melaksanakan perintah putusan tanpa ada UU nya terlebih dahulu, mengingat KPU dalam melaksanakan PKPU berdasarkan UU Pemilu. Dan apakah DPR akan mengubah makna dalam UU tersebut atau secara otomatis putusan Mahkamah Konstitusi dapat dilaksanakan?. Namun hal yang sangat penting untuk kita pahami adalah apakah jaminan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi telah sesuai dengan makna yang dimaksud dalam konstitusi atau jika putusan Mahkamah Konstitusi itu dinilai mencederai konstitusi dan syarat akan kepentingan kelompok atau golongan tertentu, apakah putusan itu masih dapat ditaati dan dilaksanakan dan perlu diuji keabsahannya meskipun sifat putusan Mahkamah Konstitusi adalah final dan mengikat?

Dasar putusan Mahkamah Konstitusi harusnya cacat hukum untuk dilaksanakan, berdasarkan komposisi hakim yang melakukan dissenting opinion atau berpendapat berbeda dalam putusan itu lebih banyak daripada hakim yang menyatakan setuju untuk mengabulkan sebagian dari gugatan itu. Sebelumnya Hakim Mahkamah Konstitusi Saldi Isra dalam dissenting opinion atas putusan itu mengatakan, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU- XXI/2023), Mahkamah secara eksplisit, lugas, dan tegas menyatakan bahwa ihwal usia dalam norma Pasal 169 huruf (q) UU 7/2017 adalah wewenang pembentuk undang-undang untuk mengubahnya. Dengan adanya putusan itu, menutup ruang adanya tindakan lain selain dilakukan oleh pembentuk undang-undang. Artinya harusnya putusan Mahkamah Konstitusi konsisten terhadap putusan sebelumnya.

Namun dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 dari sembilan hakim Mahkamah Konstitusi, disebut lima yang setuju dan empat menolak. Tapi perlu digaris bawahi, kata mengabulkan ini tidak bulat. Tiga mengabulkan dengan syarat pejabat langsung yang dipilih melalui pemilu. Tapi dua lainnya memberi pengecualian bagi yang di bawah 40 yakni mereka menjabat gubernur atau pernah menjabat gubernur. Bukan wali kota atau bupati, sementara empat sisanya tidak mengabulkan. Ada yang menolak secara materi atau karena pemohon tidak punya legal standing, artinya tidak ada keputusan yang bulat. 

Alasan mengapa putusan Mahkamah Konstitusi tidak bulat, berdasarkan pembacaan putusan, hanya ada tiga hakim yang setuju jika dia adalah Bupati atau Wali Kota. Adapun dua hakim lainnya Einy Nurbaningsih dan Daniel Yusmic syaratnya adalah Gubernur. Jadi sejatinya hanya tiga yang setuju. Dua hakim konstitusi, Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic, menurut Yusril Ihza Mahendra bukan memberikan concurring opinion atau alasan berbeda, tetapi dissenting opinion. Oleh karena itu, menurut Yusril, hakim yang melakukan dissenting opinion ada enam, yaitu Saldi Isra, Arief Hidayat, Wahiduddin Adams, dan Suhartoyo, Enny Nurbaningsih, dan Daniel.  Dengan komposisi seperti itu, maka permohonan itu seharusnya ditolak oleh Mahkamah Konstitusi. “Tapi diktumnya mengatakan mengabulkan permohonan untuk sebagian,” sehingga putusan tersebut cacat hukum untuk dilaksanakan.

News Feed