SuarA: Nurul Ilmi Idrus
Tiga minggu belakangan ini kita disuguhi dengan berita super hot terkait korupsi. Berita tentang korupsi sebenarnya tidak lagi “bernilai berita” karena begitu seringnya kita disuguhi berita serupa, baik berupa operasi tangkap tangan (OTT), penjemputan paksa, penyerahan diri, maupun penangkapan.
Yang membuat berita korupsi kali ini menjadi hot bukan saja karena siapa yang ditersangkakan atas dugaan pemerasan, yakni Syahrul Yasin Limpo (SYL), yang ketika itu menjabat sebagai Mentan, tapi juga karena SYL diduga menjadi objek pemerasan oleh oknum pimpinan KPK, SYL melawan. Tak heran jika muncul adagium pemeras versus pemeras, yang kembali mengingatkan kita pada kasus cicak versus buaya beberapa tahun silam.
Dalam kasus-kasus korupsi, ketika beritanya mulai muncul, penyangkalan mulai diucapkan, ketika ditangkap penyangkalan semakin dipertegas. Mahfud MD, Menkopolhukam, pernah mengucap bahwa penyangkalan oleh mereka yang diduga korupsi atau yang telah menjadi tersangka adalah hal biasa dilakukan. Alih-alih menjadikan penyangkalan sebagai “senjata” untuk menunjukkan bahwa ia tidak korupsi, “senjata memakan tuannya” ketika berbagai bukti bermunculan dan penyangkalan bagai hilang ditelan bumi.
Saat berita telah mulai hot, terutama sejak dilakukannya penggeledahan di rumah dinas Mentan, yang konon ditemukan uang sebanyak 30 miliar dan 12 senjata api; rumah pribadi SYL di Makassar; dan Kantor Kementan, SYL sedang berada di luar negri bahkan sempat dikabarkan “menghilang”, penyangkalan SYL ditunggu-tunggu. Namun, berbagai berita yang disajikan tak menunjukkan itu.
Ketika SYL akhirnya pulang, ia bersafari dengan mendatangi Polda Metrojaya yang diduga untuk melaporkan oknum pimpinan KPK, pamit di Kantor Kementan, sowan ke Partai Nasdem, mengundurkan diri dari jabatannya dan pamit kepada presiden, pulang ke Makassar menjenguk ibunya, dan kembali ke Jakarta untuk menyerahkan diri ke KPK pada Jum’at (13 Oktober 2023). Keyakinan ini didasarkan pada pernyataannya bahwa: “Berani berbuat, berani bertanggung jawab”; dan bahwa beliau akan mengikuti proses hukum yang berlaku. Namun, Kamis malam SYL ditangkap oleh KPK. Penangkapan ini tidak saja menimbulkan pro-kontra, tapi juga menimbulkan pertanyaan karena “Jum’at keramat” tinggal beberapa jam lagi. Yang pro menganggap bahwa SYL ditakutkan melarikan diri dan menghilangkan barang bukti, sementara yang kontra menganggap bahwa ada “sesuatu” dibalik penangkapan ini yang berkesan terburu-buru karena, misalnya, SYL ditakutkan semakin “menyanyi” di luar.
Tak banyak pejabat yang ketika diduga korupsi/telah ditersangkakan kemudian mengundurkan diri dari jabatannya sebelum akhirnya ditahan. Justru ada koruptor yang enggan hengkang dari rumah jabatan, meskipun ia telah ditahan. Tak banyak pejabat yang membuat pernyataan akan bertanggungjawab atas apa yang disangkakan. Tak banyak juga pejabat yang menyatakan akan mengikuti proses hukum yang berlaku. Sikap gentle yang ditunjukkan oleh SYL mengingatkan kita pada Alfian Mallarangeng—politisi Demokrat—beberapa tahun silam yang begitu dijadikan tersangka dalam kasus Hambalang, ia langsung mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Menpora. Demikian halnya dengan politisi Golkar, Idrus Marham, yang mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Mensos beberapa jam sebelum ditersangkakan dalam kasus PLTU I Riau. Ketiganya ingin berfokus menghadapi proses hukum, yang dalam pepatah Makassar, “teai Mangkasara’ punna bokona loko, pantang mundur orang Makassar jika menghadapi masalah.
Korupsi adalah extraordinary crime, tapi sikap dari yang diduga berkorupsi atau yang telah ditersangkakan sebagai pelaku korupsi juga harus ekstraordiner dalam menghadapi kasusnya karena hukum harus adil tanpa pandang bulu, sebagaimana pepatah Bugis “ade e temmakke-ana’ temmakke eppo.”