Oleh : Muliyadi Hamid
Pekan lalu, Kementerian Pendidikan, kebudayaan, Riset & Teknologi (kemendikbud-ristek) meluncurkan kebijakan Merdeka Belajar episode 26. Isinya adalah kebijakan transformasi Standar Nasional dan Akreditasi Pendidikan Tinggi. Landasan pemikiran yang digunakan adalah pendidikan tinggi memiliki potensi dampak tercepat dalam membangun SDM unggul. Karenanya pendidikan tinggi perlu memiliki fleksibilitas dan agilitas dalam beradaptasi dengan cepat. Kecepatan beradaptasi ini diperlukan untuk mampu bersaing di tingkat dunia.
Selama ini, SNPT dinilai masih terlalu kaku dan rinci. Meskipun baru ditetapkan sekira tiga tahun lalu, yang dikenal dengan kebijakan Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) yang memberikan hak kepada mahasiswa untuk belajar di luar Program Studinya sebanyak 60 Satuan Kredit Semester (SKS) atau setara dengan tiga semester. Salah satu yang masih dinilai kaku adalah rumusan terkait Standar Kompetensi Lulusan yang masih memisahkan tiga komponen kompetensi, yakni sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Rumusannya pun diatur sangat rinci, sehingga perguruan tinggi dinilai tidak memiliki kebebasan untuk merumuskannya sesuai kebutuhan dan konteks masing-masing. Kini, setiap perguruan tinggi dapat merumuskan SKL sesuai kebutuhan dan orientasi pendidikan yang akan dikembangkan sesuai visi dan misinya. Dengan demikian, otonomi kampus semakin nyata dan semakin luas.
Aspek lain yang disederhanakan adalah lingkup standar. Jika sebelumnya masing-masing dharma perguruan tinggi wajib memiliki 8 standar, maka sekarang setiap darma hanya memiliki masing-masing 3 standar, yakni; standar luaran, standar proses, dan standar masukan. Hal ini memberikan keleluasaan kepada perguruan tinggi untuk mendefinisikan aktivitas penelitian dan pengabdian masyarakatnya sesuai misi dan situasi serta kondisi setempat. Artinya, kegiatan tridharma perguruan tinggi benar-benar dapat dirancang sesuai kebutuhan lokal dan untuk menyelesaikan masalah-masalah masyarakat sekitar.
Penilaian ketercapaian SKL juga mengalami perubahan. Jika sebelumnya setiap mahasiswa wajib menyelesaikan tugas akhir berupa skripsi, maka sekarang tidak lagi hanya wajib berbentuk skripsi. Melainkan dapat pula dalam bentuk tugas akhir lainnya seperti proyek, prototype, dan lain yang sejenis. Artinya semakin luas pilihan-pilihan mahasiswa untuk menyelesaikan tugas akhir sesuai kemampuan dan keahliannya.
Tentu saja, kebijakan ini satu sisi semakin menegaskan kemerdekaan dan otonomi perguruan tinggi mengatur tata kelola dan aktivitas akademiknya, namun di sisi lain jika tidak siap, kebijakan ini bisa justru berdampak pada kualitas lulusan. Kesiapan yang dimaksud adalah kemampuan manajemen perguruan tinggi untuk menyiapkan seluruh infrastruktur dan instrumen akademik yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan tersebut secara mandiri. Karena itu, hendaknya kementerian mendorong peningkatan kapasitas civitas akademika, khususnya para pimpinan perguruan tinggi untuk mampu menyiapkan seluruh perangkat akademik yang diperlukan dalam mendukung kebijakan kampus merdeka tersebut. (*/)