OLEH: Dr. Dian Fitri Sabrina, S.H., M.H., Dosen Hukum Tata Negara
Dana Kampanye Peserta Pemilu yang selanjutnya disebut Dana Kampanye adalah sejumlah biaya berupa uang, barang, dan jasa yang digunakan peserta pemilu untuk membiayai kegiatan kampanye sebagaimana yang disebutkan dalam PKPU nomor 24 tahun 2018 tentang dana kampanye Pemilihan Umum. Masalahnya, dana kampanye adalah titik pertemuan yang penting antara kepentingan kuasa ekonomi dengan kuasa politik. Di titik inilah, kandidat harus menyelamatkan kepentingan lebih besar dengan membuat perimbangan. Seringkali dianggap hal yang biasa sehingga memiliki peluang besar memperoleh dari dana yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Padahal dana kampanye akan berdampak besar dengan pemerintahan yang bersih dan transparan.
Misalnya praktik penggalangan dana yang dilakukan oleh Amerika serikat, Obama terbukti mampu menunjukkan keseimbangan yang baik dalam komposisi penyumbangnya. Hal tersebut dapat dilihat dari perbandingan porsi penyumbang kecil dan penyumbang besar, penyumbang berdasar latar belakang ekonomi atau pekerjaan dan representasi penyumbang berdasar jenis kelamin. Selain dapat digunakan untuk menilai besarnya partisipasi politik aktif, secara teoritik praktik dana kampanye memperlihatkan tingkat keseimbangan kontrol publik atas kandidat atau partai politik (Nassmacher, 2001).Penggalangan dana sangat berpengaruh dengan kandidat atau partai politik. Tentunya ini adalah ajang di mana rakyat akan antusias melihat figur yang akan menjadi calon Presiden yang diusung oleh partai politik. Keterlibatan rakyat secara langsung dalam kegiatan penggalangan dana harapannya dapat mengontrol kebijakan dan peraturan yang dibuat oleh seorang Presiden jika terpilih nanti.
Berbeda halnya di Indonesia, transparansi dan perimbangan dana kampanye bersumber dari pasangan calon yang bersangkutan, partai politik dan/atau gabungan partai politik yang mengusulkan, sumbangan perseorangan, sumbangan kelompok, sumbangan badan usaha, wajib ditempatkan pada rekening khusus dana kampanye terlebih dahulu sebelum digunakan untuk kegiatan Kampanye.Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu harus mampu mempertanggungjawabkan penggalangan dana kampanye yang disetor oleh partai politik yang laporannya harus diserahkan setiap 3 bulan sekali dan pada awal dan akhir kampanye kepada penyelenggara pemilu.
Yang terjadi saat ini adalah kebijakan KPU menghilangkan kewajiban menyampaikan laporan penerimaan sumbangan dana kampanye (LPSDK) di Pemilu 2024. Kebijakan tersebut dianggap sebuah bentuk kemunduran transparansi dan akuntabilitas serta akan menghilangkan kontrol masyarakat terhadap dana kampanye atau penggalangan dana yang dilakukan kandidat atau partai politik.
Dalam PKPU No. 24 tahun 2018 tentang dana kampanye dalam Pasal 10 ayat (1) telah jelas menyebutkan bahwa Dana Kampanye Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang berasal dari sumbangan pihak lain perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) huruf a, paling banyak bernilai Rp2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah) selama masa Kampanye. (2) Dana Kampanye Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang berasal dari sumbangan pihak lain kelompok, dan/atau perusahaan atau badan usaha non pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) huruf b dan huruf c, paling banyak bernilai Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima milyar rupiah) selama masa Kampanye.
Dengan adanya sistem pelaporan dana kampanye diharapkan mampu mengontrol dana yang masuk dan mampu dipertanggungjawabkan secara transparan dan perimbangan dana yang digunakan untuk kampanye pemilu.Kewajiban penyerahan laporan dana kampanye harus diartikan sebagai mandat langsung dari tiga prinsip pemilu yang diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), yakni, jujur, terbuka, dan akuntabel. Bukan hanya itu, keterkaitan urgensi laporan dana kampanye juga memenuhi Pasal 4 huruf b UU Pemilu yang menyebutkan bahwa pengaturan penyelenggaraan pemilu bertujuan untuk mewujudkan pemilu yang adil dan berintegritas.Adapun alasan KPU adalah alasan masa waktu kampanye pendek hal ini benar-benar tidak masuk akal untuk dijadikan dalih menghapus kewajiban laporan dana kampanye. Sebab, proses administrasi pelaporan itu bukan dibebankan kepada KPU, melainkan partai politik, justru jika KPU mendorong peserta pemilu melakukan pembaruan harian tentang penerimaan dan pengeluaran dana kampanye melalui Sidakam maka perlu waktu untuk mematangkan sosialisasi kepada partai politik untuk menginformasikan kepada publik tentang laporan sumbangan dana kampanyenya di Sidakam, yang seharusnya adalah laporan dana kampanye wajib dilakukan oleh partai politik setiap tiga bulan sekali secara konsisten. Hal ini dilakukan sebagai bagian implementasi transparansi kepada publik karena transparansi dana kampanye berdampak pada pemilih untuk membuat keputusan yang lebih baik tentang partai atau calon yang akan mereka dukung dan kontrol publik terhadap pemerintah. (*)