OLEH: Hafid Abbas, Konsultan Internasional di SEAMEO RETRAC, Ho Chi Minh, 2014
Pada 11 Juli lalu, UNJ kembali lagi mengukuhkan tiga orang guru besarnya, semuanya dari Fakultas Ilmu Olahraga. Mereka adalah Prof Dr Yusmawati, MPd, Bidang Ilmu Pedagogi Pendidikan Jasmani; Prof Dr Johansyah Lubis, MPd, Bidang Ilmu Fisiologi Latihan; dan Prof Dr dr Junaidi, Sp.KO, Subs.ALK (K) Bidang Ilmu Kedokteran Olahraga.
Meski ketiganya dari program studi yang berbeda, namun secara keseluruhan di lingkup fakultas dan universitasnya, mereka telah bahu membahu dengan semua unsur civitas akademiknya untuk memajukan prestasi mahasiswanya tidak hanya di tingkat nasional, regional, tetapi bahkan di tingkat internasional. Misalnya, pada Asian Games 2018, Indonesia berada di peringkat ke-4 di antara 45 negara peserta dengan perolehan 70 medali, 31 emas. Namun mahasiswa dan dosen UNJ menyumbang 12 medali, 6 di antaranya emas. Jika UNJ itu satu negara maka dengan perolehan 12 medali, ia berada di urutan ke-17 di Asia atau melampauhi 28 negara lainnya. Jika UNJ di tingkat ASEAN, ia berada di urutan ketiga setelah Thailand dan Malaysia.
Johansyah sendiri adalah peraih Medali Emas di SEA Games Manila (1991) pada cabang Pencak Silat.
Dengan sejumlah reputasi ini, dapat dibayangkan, mungkin UNJ adalah salah satu perguruan tinggi paling unggul di dunia di bidang olahraga prestasi.
Meski ketiga guru besar baru UNJ ini memiliki bidang ilmu yang berbeda, namun dalam orasi ilmiahnya, mereka mengangkat isu yang saling terkait (common grounds) dengan pembenahan pembelajaran pendidikan jasmani dan pemajuan pembangunan olahraga di tanah air, seperti berikut.
Pertama, Johansyah telah mengetengahkan Nilai-nilai Olympism dan Pendidikan Karakter pada orasinya. Intinya adalah bagaimana nilai-nilai universal dari olympism itu dijunjung tinggi dan dilaksanakan tidak hanya di setiap penyelenggaraan kompetisi olahraga di gelanggang Olimpiade tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari.
Olympus sesungguhnya adalah nama gunung tertinggi di Yunani, bahkan di Eropah, mencapai 2,9 km dari permukaan laut, terletak di antara Macedonia dan Thessalia, sedangkan Olympia adalah kota tempat kompetisi olahraga itu dilangsungkan, sejak 2800 tahun lampau.
Pada 2014, kebetulan dalam perjalanan darat dari Sofia menuju ke sejumlah kota di perbatasan Bulgaria dengan Kosovo dan Yunani, saya melintasi kawasan itu.
Olympism sesungguhnya sebagai filosofi kehidupan menempatkan olahraga sebagai wahana pengabdian pada kemanusiaan (sport at the service of humanity). Filosofi ini didasarkan pada interaksi antara kebugaran jasmani dan pikiran yang dieskpresikan melalui aksi yang menghubungkan antara budaya dan pendidikan.
Dalam olympism diajarkan untuk bersikap sportif, pantang menyerah (excellent), jujur, saling menghargai, saling menghormati (respect), menciptakan suasana kehidupan yang ramah dan bersahabat (fiendship) dengan sesama melalui beragam kegiatan untuk mewujudkan perdamaian dunia. Jika seseorang meraih satu kesuksesan atau prestasi dengan cara curang atau tidak baik, sogok menyogok, maka artinya sama dengan gagal.
Johansyah dengan mengutip pandangan Onainor (2019) lebih jauh mengemukakan bahwa olympism terkait dengan nilai-nilai living excellence, antara lain ditandai dengan: kerja keras untuk mencapai prestasi terbaik; berjuang hingga akhir (pantang menyerah); fokus terhadap pencapaian prestasi; terus belajar untuk mendapatkan proses yang tepat untuk pencapaian prestasi terbaik (no shortcut); dan, menjaga keseimbangan antara kebugaran fisik, motivasi dan kekuatan mental.
Sedangkan living respect, antara lain tercermin pada: sikap menghargai diri sendiri dan orang lain dalam hal: perbedaan pendapat; perbedaan keyakinan; perbedaan keragaman budaya; perbedaan suku atau ras dan bangsa; pemenuhan hak-hak sebagai manusia; dan, pencapaian prestasi seseorang.
Living friendsip yang tercermin dalam kehidupan sehari-hari, antara lain nilai-nilai: persahabatan; berempati dan bersimpati kepada orang lain; kerjasama; saling memberi, melayani; dan, saling mendukung.
Semangat pantang menyerah misalnya, dicontohkan oleh Johansyah, pada kejuaraan estafet Maraton putri Ekiden di Fukuoka, Jepang, 22 Oktober 2018. Saat lomba lari tengah berlangsung, suatu petaka terjadi pada pelari Rei Lida (19) yang salah mendaratkan kakinya sehingga patah. Walau kaki patah di tengah lomba, Rei tetap merangkak sejauh 200 meter, demi melanjutkan lomba agar teman-temannya terus melanjutkan lomba.
Ternyata nilai-nilai olympism tumbuh dan mengakar di budaya masyarakat Jepang, misalnya nilai sportifitas dan kejujuran. Sebagai contoh, pada 1 Maret 2021, Surat Kabar Reuter memberitakan kalau Juru Bicara Perdana Menteri Jepang, Makiko Yamada, mantan Menteri Dalam Negeri mengundurkan diri karena malu ketahuan ditraktir makan malam di satu restoran mahal dari seorang pengusaha. Juga Menteri Luar Negeri Jepang, Seiji Maehara, juga mengundurkan diri pada 6 Maret 2011 stelah ketahuan menerima donasi politik dari seorang warga Korea, tetangganya sebesar 50000 Yen atau IDR 5,2 juta.
Kedua, Yusmawati mengetengahkan kerisauannya melihat semakin meningkatnya jumlah anak dan remaja yang kurang aktif secara fisik, perkembangannya tidak sehat. Apalagi saat ini, pelajaran pendidikan jasmani di sekolah dilaksanakan hanya selama dua jam seminggu, bahkan ada sekolah yang mengganti pelajaran ini dengan materi lain, dengan berbagai alasan. Keadaan ini dapat mengganggu tahap perkembangan kesehatan dan kemampuan berpikir anak.
Karenanya, pembelajaran berbasis kemampuan otak (neurosains) sebagai satu sistem pendidikan yang melibatkan kerja syaraf, agar antara kerja otak dan prilaku tidak terpisah, sehingga secara otomatis memberikan peran penting pada ranah kognisi, afeksi maupun psikomotorik.
Pembelajaran pendidikan jasmani di sekolah dasar memberi manfaat yang signifikan bagi kesehatan otak dan fisik siswa menuju prestasi belajar yang gemilang.
Menarik dikenang tuturan Decimus Lunius seorang pujangga Romawi pada kedua Masehi: “Mens Sana in Corpore Sana, jika tubuh seseorang sehat maka jiwa dan pikirannya juga sehat.”
Terakhir, Junaidi pada orasi ilmiahnya mengangkat isu Dunia Kedokteran Olahraga Indonesia, Capaian dan Tantangannya. Dikemukakan, olahraga merupakan suatu aktivitas fisik yang memiliki seperangkat aturan dan bertujuan untuk mencapai keunggulan keterampilan spesifik (Malm et al., 2019). Olahraga merupakan proses yang bersifat sistematis, berbentuk kegiatan guna mengembangkan potensi jasmani maupun rohani yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok.
Tubuh manusia diciptakan dengan sangat sempurna untuk menjalani berbagai aktivitas, termasuk aktivitas olahraga, tetapi terkadang tanpa disadari seseorang melakukan aktivitas olahraga yang tidak sesuai dengan kemampuan fisiknya sehingga menyebabkan terjadinya cedera. Penanganan cedera olahraga merupakan ranah kedokteran olahraga. Kedokteran olahraga merupakan cabang ilmu kedokteran yang berhubungan dengan kebugaran fisik, penanganan dan pencegahan cedera yang berhubungan dengan olahraga.
Bidang kedokteran olahraga juga berkewajiban meningkatkan prestasi atlet bersama–sama dengan pelatih kepala dan pelatih fisik. Dalam kewajibannya meningkatkan prestasi atlet, maka tugas bidang kedokteran olahraga termasuk meningkatkan performa atlet, yang dilakukan bersama ahli fisiologi latihan, ahli biomekanik, psikolog, ahli gizi, sport masseur, pelatih fisik dan personal trainer.
Satu karya monumental, Junaidi, pada tahun 2018, ikut menginisiasi bedirinya sebuah klinik Jakarta High Performance Center (JHPC). JHPC adalah sebuah klinik pemulihan cedera (injury recovery clinic) yang merupakan unit fungsional KONI Provinsi DKI Jakarta. JHPC juga berfungsi memelihara dan meningkatkan kebugaran atlet, baik atlet yang cedera maupun tidak.
Semoga, dengan capaian yang membanggakan itu semua dengan kehadiran tiga orang guru besar barunya, pantaslah jika UNJ semakin siap menjadi pusat keunggulan pendidikan olahraga bagi negara-negara ASEAN, apalagi UNJ kini juga sudah memilki Sport Center yang berstandar internasional. Dan pantas pula jika UNJ menjadi cahaya bagi pembudayaan nilai-nilai universal Olympism dalam tatanan kehidupan masyarakat Pancasilais di negeri tercinta ini. (*)