SuarA: Nurul Ilmi Idrus
Ibadah haji merupakan sebuah totalitas yang mendorong kebersamaan. Memenuhi syarat untuk menunaikan ibadah haji berarti memiliki kemampuan untuk pergi dan melakukan berbagai ritual haji dan membijaki diri untuk memahami apa yang telah dilakukan selama berhaji. Mina adalah tempatnya merenungkan tentang haji dan memahami apa setelah dilakukan (di Miqat, ketika Tawaf, Sa’i, di Arafah, Masy’ar, dan Mina dengan melempar jumrah, berkorban, dan merayakan Id). Mina adalah tempat yang tandus, gersang, tidak menarik, tidak ada tempat untuk bersantai atau berjalan-jalan, sehingga tidak cocok untuk dihuni. Itu sebabnya Rasulullah melarang mendirikan bangunan di Mina.
Ketika tawaf, Ka’bah ibarat matahari yang berada di tengah, sementara manusia bagai bintang-bintang yang berjalan di orbitnya dalam sistem tata surya, bergerak mengelilingi Ka’bah, lenyap dalam gelombang manusia. Sa’i adalah sebuah pencaharian, gerakan yang bertujuan, manusia berperan sebagai Hajar, sang role model kepasrahan terhadap dan ketaatan kepada Allah dengan meninggalkan anaknya di lembah untuk mencari karunia air. Ia bangkit dan berlari dari satu bukit tandus ke bukit tandus lainnya (dari Safa ke Marwah). Manusia bergerak dari satu fase ke fase yang lain, dimana selalu ada gerakan ke arah sesuatu, dan bukan ke dalam sesuatu. Ibarat manusia yang telah mati (kembali kepada Allah), maka ada tiga fase yang harus dilalui, yaitu: Arafah, Masy’ar atau Musdalifah, dan Mina (Armina). Jika Arafah adalah miniatur Padang Mahsyar, tempat semua makhluk dikumpulkan setelah hari kiamat kelak), yang menyimbolkan kelahiran manusia kembali; Masy’ar menyimbolkan kesadaran dan pemahaman, maka Mina merupakan simbol cinta dan keimanan. Wukuf di Arafah dengan suhu hingga 53 derajat tak membuat orang meleleh. Arafah ditinggalkan saat matahari tenggelam dengan melintasi Musdalifah yang terletak di antara Arafah dan Mina, dan dua hari mabit di Mina tidak saja menguji kesabaran dan kebersamaan jamaah, tapi juga menjadi momen perenungan.
Berbagai tantangan lain juga dihadapi, lain tempat lain tantangannya. Di Mekkah, orang berupaya tidak saja untuk sholat lima waktu di Masjidil Haram, tapi juga berusaha untuk mendapatkan tempat yang terdekat ke Ka’bah, masing-masing orang dengan strateginya. Tidak mengherankan banyak orang yang datang beberapa jam sebelum waktu sholat tiba, ada yang tinggal saat Dhuhur dan Ashar (seperti halnya Magrib dan Isya) demi menghemat waktu dan tetap berada di tempat yang sama. Mereka yang ingin mencium Hajratul Aswad, menganggap datang pada jam tertentu (seperti malam atau sebelum Subuh) situasi akan lebih longgar, tapi orang yang tawaf tak pernah henti, selesai satu orang/kelompok, maka kelompok lain akan menyusul, susul menyusul, dua puluh empat jam dan tujuh hari seminggu. Manusia bergerak terus di sekeliling Ka’bah, tanpa spasi.
Di Madinah, jamaah berburu sholat arbain yang didasarkan pada Hadits Nabi SAW, yakni shalat berjamaah di masjid Nabawi bersama imam rawatib sebanyak 40 waktu yang dilaksanakan secara berturut-turut tanpa ketinggalan satu shalat pun, selama delapan hari. Ada yang beruntung dapat mencapainya, ada yang memang tidak bisa karena waktu tinggal di Madinah kurang dari delapan hari. Oleh karenanya, mereka yang memiliki kesempatan ini menggunakan waktu sebaik-baiknya untuk mencapainya karena ganjarannya adalah pahala yang berlimpah dan dijauhi dari siksa dari neraka.
Di Mekkah maupun Madinah, saat sholat terdengar konser batuk yang tone-nya berbeda berdasarkan negara meski sulit diillustrasikan. Satu sama lain saling bersahutan, meski tidak ada aba-aba, mungkin masih terbawa dengan suasana ritual haji tentang kebersamaan yang terjadi secara spontan. What a challenge!