(Catatan dari XX ISA World Congress of Sociology)
OLEH: Sawedi Muhammad dan Buchari Mengge, Dosen Departemen Sosiologi Fisip Universitas Hasanuddin
Kongres Ikatan Sosiologi Dunia (International Sociology Association – ISA) ke XX telah berakhir. Kongres ini berlangsung pada tanggal 25 Juni – 1 Juli 2003 di Melbourne Convention and Exhibition Center (MCEC), Melbourne Victoria Australia. Kongres akbar sosiologi dunia ini dihadiri oleh sekitar tiga ribu peserta dari seluruh dunia baik secara hibrid maupun offline. Dengan latar belakang kajian yang beragam, topik yang disajikan, didiskusikan dan diperdebatkan pun sangat variatif. Ratusan sessi diskusi dilakukan secara paralel di dua tempat berbeda yaitu di kompleks Crown Hotel dan di MCEC. Pemaparan materi hasil penelitian dan review literatur dan review buku berlangsung non-stop dari jam 8.30 pagi sampai jam 10.30 malam di bawah tema besar “Resurgent Authoritarianism: The Sociology of New Entanglements of Religions, Politics, And Economies”.
Penulis sebagai delegasi Universitas Hasanuddin memaparkan hasil penelitian ketimpangan sosio-spasial dengan judul “The Urban Small Scale Fishing Community within The Vortex of Socio-Spatial Exclusion”. Penelitian ini mengungkap kemiskinan nelayan perkotaan yang masuk kategori “the poorest of the poor “ sebagai akibat dari eksklusi socio-spatial yang berlangsung secara massif. Ruang hidup nelayan kecil perkotaan telah dirampas oleh kekuatan struktural perkotaan melalui “kapitalisme dragonian” yang mengatasnamakan penataan kota dan demi mercusuar pembangunan yang berorientasi pembangunan fisik. Proses akumulasi kapital dalam kota – sebut saja reklamasi dan pembiaran kerentanan dan risiko nelayan kecil dalam ruang kumuh menambah penderitaan mereka yang hidup dalam perangkap kemiskinan yang berlapis. Fenomena demikian, oleh Geografer David Harvey disebut sebagai akumulasi perampasan (acummulation by dispossesion). Akumulasi seperti ini secara sadar telah menjadi bagian dari imajinasi otoritarianisme – neo liberalisme dalam lokus dan lanskap perkotaan.
Penderitaan nelayan kecil tidak berhenti sampai di titik ini. Secara sosio-kultural, nelayan kecil banyak terperangkap ke dalam pola hubungan patron-client yang asimetris yang disebut dengan Punggawa-Sawi. Pola hubungan antara Punggawa yang menyiapkan berbagai macam kebutuhan dengan Sawi yang akan melaut, dalam perspektif Marxian dimasukkan ke dalam kategori eksploitasi kelas. Punggawa meski terkesan sebagai hero sejatinya adalah pemilik modal/alat produksi yang mendapatkan nilai lebih yang konsisten dan berkelanjutan. Sementara Sawi adalah buruh (proletariat) yang hanya mendapatkan upah dari sebagian kecil dari hasil tangkapannya. Menariknya, fenomena eksploitasi kelas dan eksklusi spasial juga terjadi di berbagai penjuru dunia termasuk di Amerika, Vietnam, India, Kamboja, Amerika Latin dan Australia. Ini terungkap di forum diskusi setelah pemaparan kami selesai. Secara struktural, pola yang terjadi hampir sama yaitu minimnya peran negara dalam membongkar relasi antar kelas yang eksploitatif.
Bangkitnya Otoritarianisme
Selain kapitalisme dragonian, kebangkitan global otoritarianisme, menjadi perhatian para sosiolog peserta kongres. Hal ini diperkuat oleh bangkitnya hegemoni simbolis budaya publik yaitu kombinasi semangat nasionalis dan agama yang ekstrem. Para sosiolog prihatin tidak hanya dengan otoritarianisme keras yang menggaungkan brutalisasi sosial dan politik, tetapi juga otoritarianisme lunak (soft authoritarianism). Pola ini tumbuh subur dalam bayang-bayang neoliberalisme, ketika negara bergerak dengan cekatan di tempat terbuka atau secara rahasia untuk merancang mode pemerintahan yang menopang kekuatannya melawan ketidakpuasan rakyat. Salah satu contoh nyata dari otoritarianisme lunak adalah pengawasan digital negara terhadap akses publik di berbagai platform media digital. Banyak yang berpendapat bahwa proyek liberal-politik dalam kerentanan dan bahaya. Apakah itu terkait dengan konseptualisasi atau penerapannya, terutama dalam keadilan sosial, kolektivitas, solidaritas, keharmonisan dan kecintaan sosial (social love), dan segala bentuk pluralisme dan mulkulturalisme. Menurut Ekonomi politik neoliberal yang dikembangkan oleh sistem multilateral berkontribusi pada produksi, reproduksi, dan ketidakadilan yang semakin memburuk. Perdagangan global dan globalisasi berimplikasi langsung terhadap distribusi kapital yang timpang baik di internal negara, antar negara, dan bahkan antar wilayah. Munculnya rantai nilai global dan perdagangan di sepanjang rantai pasokan internasional merupakan manifestasi terbaru dari ketidakadilan sistemik.
Rasisme dan Kriminalitas
Sementara itu rasisme dan kriminalisasi atas perjuangan hak dan demokrasi secara luas telah menjadi tren global, melintasi berbagai rezim politik dan konstitusi. Intoleransi dan pelanggaran hak asasi manusia terlihat secara jelas pada negara-negara otoriter, termasuk dalam apa yang disebut demokrasi liberal. Bahkan demokrasi yang mapan juga menampilkan kriminalisasi dan kekerasan yang tinggi terhadap pembela hak asasi manusia.
Intoleransi melalui mekanisme Islamophobia menjadi bagian di dalamnya. Lembaga-lembaga negara dan pemerintah mempromosikan konstitusi untuk mendiskriminasi (menentang secara politik) muslim, terutama negara-negara maju. Dalam beberapa kasus, rezim otoriter melegitimasi kebijakan anti-Muslim dengan mengacu pada wacana Islam, sehingga mengungkapkan kompleksitas rasisme epistemik dalam konteks Islam. Farid Hafez, salah satu presenter dan sosiolog dari International Studies at Williams College, USA mengatakan bahwa Islamfobia adalah cara mengatur dan mendisiplinkan umat Islam, sehingga membingkai Islamofobia sebagai politik. Konsep Islamofobia sebagai bentuk pemerintahan rasial yang bertujuan merusak identitas Muslim. Kebijakan dan Praktik ini tak lepas dari padangan-pandangan sistem dunia, orientalisme terutama orientalisasi elit politik, termasuk warisan kolonial. Gagasan Barat tentang sekularisme tak lepas dari pandangan dan praktik rasisme keagamaan terutama islamopobia
Sari Hanafi, Presiden ISA, dalam sambutan kongresnya mengatakan bahwa otoritarianisme telah tersebar luas seperti sekarang ini, tidak terkecuali di belahan bumi bagian utara. Perkembangannya telah difasilitasi oleh “penguatan simbolis” budaya publik secara bertahap melalui kombinasi semangat nasionalis dan agama yang ekstrem, terutama ketika proyek konservatif nasional menggantikan proyek politik liberal. Ini adalah fase demagogis yang dianimasikan oleh kebangkitan populisme yang memusingkan dan banyak kesalahpahaman antara agama dan paham sekuler, dan dalam hubungannya dengan politik, ekonomi, dan budaya. Otoritarianisme mempengaruhi tidak hanya masyarakat, tetapi juga produksi pengetahuan.
Satu yang mengemuka dalam perdebatan adalah istilah postsekularisme. Dalam banyak hal psosekularisme adalah analog dengan postmodernisme. Kedua istilah ini menunjukkan batas-batas budaya Barat dan apa yang bisa disebut liberalisme. Konsep postsekularisme mengacu pada instrumen liberalisme modern karena liberalisme modern menurunkan “agama” ke lingkup kepercayaan pribadi. Postsekularitas menjadi kata kunci untuk menemukan gagasan sekularitas atau sekularisasi dalam menangkap perkembangan saat ini. Ini terkait terutama – tetapi tidak hanya – dengan perkembangan di luar Barat. Beberapa pendekatan ini menyiratkan kritik terhadap sekularisme sebagai upaya dan konsep hegemonial Barat. Ini sering sejalan dengan asumsi normatif yang mendukung kehadiran agama di masyarakat modern.
Karena itu Sari Hanafi secara khusus mengajak para sosiolog membahas dan melakukan penelitian lebih jauh tentang sekularisme yang inheren dalam masyarakat modern dan pada saat yang sama secara analitis memisahkan negara dari agama. Sementara pemisahan ini masih merupakan jalur penting menuju demokrasi dan terciptanya masyarakat sipil, oleh Sari Hanafi prosesnya masih perlu diperdebatkan. Kami sangat menantikan untuk membahas dan melakukan penelitian yang menjanjikan dalam sosiologi dan disiplin terkait tentang apa yang disebut ‘masyarakat pasca-sekuler’ dan ‘ multi-sekularitas’.