English English Indonesian Indonesian
oleh

Mengapa Orang Mau ke Karen’s Diner?

(FOMO dan Efek Residu Psikologis)

Oleh: Tanisa Humairah Zandi, Program Studi Manajemen, Universitas Hasanuddin

Pernahkah terbersit dalam pikiran kita untuk merasakan sensasi anomali pelayanan yang justru memaki dan membuat kita tidak nyaman? Namun mengapa konsumen terkarik untuk merasakan sensasi pelayanan Karen’s diner yang justru mendobrak narasi “pelanggan adalah raja” dalam pelayanan mainstream?

Konteks masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang memiliki karakter kohesivitas (kedekatan) sosial yang tinggi dalam kehidupan bersosial. Gejala masyarakat yang teralihkan dari standar pelayanan mainstream ini bisa dilihat dari postingan beberapa influencer media. Perkembangan era teknologi dan digitalisasi mendorong kecenderungan seseorang untuk mencoba sesuatu yang sedang viral, dengan tujuan membuatnya terlihat baik atau bisa meningkatkan bargain ikatan sosial dengan kelompoknya. Pada dasarnya hal ini dijelaskan melalui konsep “A Neural Model of Valuation and Information Virality” yang terbit dalam jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences. Restoran yang menawarkan konsep unik ini nyatanya berhasil mengundang rasa penasaran dan minat calon pembeli dengan vibes pelayanan berbeda, ditambah lagi dengan pengaruh engagement influencer. Oleh karena itu, tak heran apabila Netizen penasaran untuk berkunjung ke karen’s diner.

FOMO menjadi variabel

Pada titik ini, masyarakat mulai memiliki kecenderungan untuk merasakan sensansi hal baru atas tren yang berkembang, berdasarkan laporan IDN Times, menunjukkan bahwa sensasi dan pengalaman baru merupakan sesuatu hal yang memiliki nilai guna bagi generasi saat ini. Nyatanya perspektif tersebut memandang bahwa pengalaman memberi pengaruh besar terhadap identitas dan status pada lingkaran sosial kita. Secara otomatis hal tersebut akan membawa kita pada kondisi  Fear of Missing Out (FOMO). Kita menjadi ingin merasakan sensansi terhadap suatu hal yang baru, karena hal tersebut akan berpengaruh terhadap identitas kita, harga diri, dan status sosial kita.

Lantas kita mengonsumsi sesuatu bukan karena butuh, tapi karena ketakutan bahwa kita tidak bisa merasakan hal tersebut sedangkan orang lain bisa membeli pengalaman itu. Secara keseluruhan apa yang benar-benar terjadi adalah kecenderungan kita yang hanya ingin memperoleh pengakuan. Modernisasi dan globalisasi membawa kita ke dalam era yang penuh hasrat ketidakpuasan dalam konteks konsumerisme dan kepemilikan. Pengalaman yang kita dapatkan dan peroleh dapat mendefinisikan siapa kita, apa yang kita ingin orang lain pikirkan tentang kita.

Efek residu psikologi Karen’s Diner

Dari sisi Psikologis Karyawan (Para Karen) yang diatur untuk bersikap dengan tidak bijak dengan merendahkan, me-roasting dan bahkan body shaming. Akan berpotensi untuk terganggu secara mental, dikarenakan marah merupakan bagian dari emosi yang ada di dalam diri manusia yang tidak seharusnya dikeluarkan secara terus-menerus dan apabila hal tersebut dipaksakan untuk dilakukan secara terus menerus dalam jangka waktu yang panjang, akan berpotensi mengganggu kesehatan mental orang tersebut.

Berdasarkan penelitian mengenai emotional labour (emosional pekerja), menyatakan bahwa dengan perluasan industri jasa, tenaga kerja emosional telah bermanifestasi sebagai pemicu stres kerja baru. Penelitian tersebut menekankan pentingnya program manajemen dan regulasi stres untuk mengurangi hasil buruk dari pekerjaan dengan effort emosional, serta mengatasi kegiatan yang menimbulkan stres secara berkepanjangan. Selain itu, meningkatkan kapasitas dan kompetensi karyawan dengan memberikan treatmen yang tidak terkesan mem-bully konsumen, namun memiliki regulasi terukur dalam me-roasting konsumen melalui modifikasi perilaku yang terkontrol.

Disisi lain dari segi aspek konsumen, Karen’s Diner dapat menyajikan suatu pengalaman dan impresi baru dan dapat menjadi suatu hal yang unik dari segi pengalaman bagi konsumen yang datang dan ingin merasakan sensasi emosional baru. Modus orientasi konsumen untuk memperoleh pelayanan yang tidak menyenangkan merupakan ekses yang muncul secara stimulus akibat konstruksi kultur media sosial. Disisi lain fakta bahwa Efek Influencer, Viral, dan FOMO berhasil menuntun kita pada cara pandang yang sangat unik dengan membuat kita mencapai antitesis terhadap pengalaman dilayani seperti pada umumnya.

Namun, secara jangka panjang untuk mencapai konsumen yang tergolong loyalis, Karen’s Diner harus menawarkan kualitas yang lebih dari sekadar Gimmick Marketing. Semuanya seakan tereduksi untuk kembali merasakan kenyamanan yang konsumen harapkan dari sebuah pelayanan, dikarenakan konsumen memiliki mekanisme  psikologis secara opsional agar tidak mengulangi perasaan tidak menyenangkan dari pengalaman sebelumnya. Sehingga secara berkelanjutan, perlu adanya tawaran lain yang membuat konsumen tertarik untuk berkunjung kembali. (*)

News Feed