FAJAR, MAMASA – Dugaan terjadinya manipulasi data agraria di Kabupaten Mamasa, menguat. Penyidik Polda Sulbar menemukan kejanggalan antara sertifikat dan sporadik.
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Sulbar, Kombespol I Nyoman Artana dalam surat pemberitahuan perkembangan hasil penyelidikan, menyebut sporadik bernomor 055/Ds-TP/II/2016, terletak di Jalan Dambu, Dusun Kampung Baru, Desa Tappalina, Kecamatan Mambi, Kabupaten Mamasa.
Sebaliknya, sertifikat hak milik 0311 yang diterbitkan BPN dengan dasar sporadik tersebut atas nama Djamil terletak di Popanga, Dusun Dambu, Desa Tappalina, Kecamatan Mambi, Kabupaten Mamasa.
“Dari hasil pemeriksaan pihak BPN Mamasa diketahui Djamil memang pernah menggunakan sporadik nomor 055/Ds-TP/II/2016 saat melakukan permohonan ke BPN Mamasa untuk penerbitan SHM,” sebutnya.
Masih dalam surat tersebut, I Nyoman Artana menyebut, permohonan penerbitan SHM tersebut dimohonkan secara kolektif dengan objek lain saat pelaksanaan program proyek operasi Nasional agraria (Prona). “a/Atau proses sertifikat tanah secara massal yang dilakukan secara terpadu,” sambungnya.
Pakar Hukum Administrasi Negara (HAN) UNM, Herman menuturkan jika melihat kasusnya bisa dikatakan hal tersebut adalah ada dua tindak pidana yang bisa terjadi. Pertama yakni pemalsuan berkas atau data, dimana ini masuk dalam tindak pidana umum.
Kedua yakni dugaan tindak pidana korupsi. Dimana pada pasal 2 ayat 1 UU Tipikor menyebutkan setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun dan denda paling sedikit 200 juta rupiah dan paling banyak 1 miliar rupiah. Pasal ini berlaku untuk bukan aparat pemerintah atau pegawai pemerintah.
Sedangkan pada pasal 3 menyebutkan setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau karena kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit 50 juta rupiah dan maksimal 1 miliar. Aturan ini menyasar untuk pegawai pemerintah dan pejabat negara.
“Ini bisa dikatakan penggelapan hukum. Karena ada administrasi yang tidak benar dalam penerbitan SHM yang berbeda dengan lokasi Sporadik. Indikasi pidananya sangat jelas,” ucapnya.
Lebih lanjut Herman menjelaskan pihak BPN tidak dapat bergeming dengan adanya kesalahan administrasi. Pasalnya dalam penerbitan sertifikat bukan hanya melihat data, namun juga melakukan peninjauan lapangan. Sehingga tidak bakalan ada kesalahan lokasi.
Secara aturan SHM yang terbit bisa saja digugat untuk dibatalkan. Cara pihak yang merasa dirugikan bisa menggugatnya di PTUN.
“Bisa juga melakukan pelaporan di kepolisian jika ada indikasi penyerobotan lahan. Intinya disini ada penggelapan hukum,” ungkapnya.
Herman menambahkan jika benar adanya permainan dalam penerbitan SHM, praktik ini bisa masuk dalam mafia. Masuk ranah korupsi. “Harus diungkap hingga tuntas,” tambahnya. (edo)