Oleh: Muhammad Syarkawi Rauf, Tenaga Pengajar FEB Unhas/ Komisaris Utama PTPN IX
The Global Risk Report edisi ke-18, tahun 2023, yang diterbitkan oleh World Economic Forum (WEF) pada awal tahun 2023 memperkenalkan isitilah “polycrisis”. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan semakin meluasnya tekanan terhadap perekonomian global.
Tekanan tersebut tidak hanya bersumber dari pandemi Covid-19 dan perang Ukraina, tetapi juga terkait dengan perubahan iklim global, cuaca ekstrim, ketidakmampuan beradaptasi terhadap perubahan iklim global, tekanan ketersediaan dan harga energi, deglobalization, inflasi tinggi, serta peningkatan utang global.
The Global Risk Report tahun 2023 diterbitkan untuk mengidentifikasi, menilai, mengevaluasi dan memitigasi berbagai risiko yang dihadapi oleh perekonomian global dalam satu hingga 10 tahun ke depan. Potensi risiko polycrisis sangat besar dan dapat berdampak sangat serius terhadap perekonomian global (WEF, 2023).
Risiko Global
Laporan risiko perekonomian global tahun 2023 disusun berdasarkan hasil survei yang dilakukan terhadap institusi pemerintah dan pelaku usaha. Laporan ini berkaitan dengan persepsi resiko yang berpotensi dihadapi oleh perekonomian global, baik dalam jangka pendek maupun panjang.
Persepsi risiko terhadap perekonomian global tahun 2023 berkaitan dengan krisis pasokan energi yang membuat harga energi meningkat, krisis biaya hidup yang disebabkan oleh kenaikan harga bahan makanan, persistensi inflasi, krisis pasokan bahan makanan, dan peningkatan serangan siber terhadap infrastruktur strategis.
Risiko perekonomian global terkait dengan masalah geopolitik global yang mengubah lanskap perekonomian global dari unipolarity menjadi multipolarity. Unipolarity menempatkan Amerika Serikat (AS) sebagai penguasa tunggal. Saat ini, kontribusi global perekonomian AS menyusut menjadi hanya 25 persen.
Sementara, multipolarity ditandai oleh kebangkitan perekonomian China yang mengurangi dominasi perekonomian AS secara global. Market share perekonomian China secara global meningkat menjadi 18 persen dari Gross Domestic Product (GDP) global. Diperkirakan, perekonomian China menjadi lebih besar dari AS pada tahun 2030.
Masalah geopolitik berkaitan invasi Rusia ke Ukraina mengganggu pasokan pangan dan energi global, khususnya gandum, minyak bumi dan gas. Supply chain bottlenecks (gangguan rantai pasok) menyebabkan supply shock inflation (inflasi sisi pasokan) meningkat secara persisten. Invasi Rusia ke Ukraina menyebabkan kenaikan harga komoditas.
Perkembangan terkini harga komoditas, khususnya batu bara dan minyak bumi memang mengalami penurunan, namun secara historis, harganya masih jauh lebih tinggi dibandingkan satu dekade terakhir. Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) sebagai kartel minyak bumi global tetap menahan pasokan ke pasar (output restriction) untuk menjaga agar harga minyak global tetap tinggi.
Gangguan rantai pasok global yang menyebabkan persistensi inflasi memaksa bank sentral global, seperti The Fed, bank sentral AS dan European Central Bank (ECB), bank sentral Eropa menaikkan suku bunga acuan untuk membawa inflasi turun ke level dua persen sesuai target. Kecenderungan ini mengakhiri era suku bunga rendah dan membawa perekonomian global ke dalam era baru, yaitu era suku bunga tinggi.
Mitigasi Risiko
Risiko utama perekonomian global dalam jangka pendek yang memerlukan langkah antisipasi, khususnya yang berkaitan dengan tingginya intensitas bencana alam, cuaca ekstrim, kerusakan lingkungan dalam skala besar, krisis Sumber Daya Alam (SDA), berkurangnya kohesi sosial dan terjadinya polarisasi sosial.
Kecenderungan tersebut di atas menuntut kemampuan adaptasi dari semua sektor ekonomi, secara khusus sektor pertanian dan perkebunan. Kegagalan beradaptasi terhadap iklim global akan menurunkan produktifitas hasil pertanian dan perkebunan, padahal pada saat yang sama permintaan pangan global meningkat akibat peningkatan populasi global.
Secara nasional, risiko utama yang dihadapi adalah ketidakseimbangan antara produksi komoditas pangan strategis, khususnya padi dengan pertumbuhan penduduk. Dimana tren produksi Gabah Kering Giling (GKG) menurun dari 54,65 juta ton tahun 2020, diperkirakan menjadi hanya 31,29 juta ton tahun 2023. Sementara penduduk Indonesia meningkat dari 270 juta tahun 2020 menjadi 280 juta tahun 2023.
Risiko perubahan iklim dan cuaca ekstrim mengganggu produksi padi nasional akibat gagal panen dan produktifitas per hektar lahan pertanian serta perkebunan yang menurun. Hal ini tercermin pada produksi Gabah Kering Panen (GKP) yang hanya sekitar 62,83 juta ton tahun 2022 atau setara dengan 52,38 juta ton GKG. Dimana produktifitas padi nasional tidak mengalami peningkatan, yaitu hanya 5 ton per hektar dalam satu dekade terakhir.
Risiko perekonomian nasional dalam satu dekade mendatang, khususnya yang berkaitan dengan ketersediaan pangan utama seperti padi bersumber dari laju konversi lahan pertanian ke non pertanian yang tinggi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2021, konversi lahan pertanian ke non pertanian sekitar 60 – 80 ribu hektar per tahun.
Jika lahan pertanian yang beralih fungsi memiliki Indeks Pertanaman (IP) padi sebesar 300 dengan produktifitas rata-rata sekitar 6 ton GKG per hektar maka terdapat potensi kehilangan hasil produksi padi sekitar 1 – 1,4 juta ton GKG per tahun. Akibatnya, angka surplus beras menurun dari tahun ke tahun, yaitu dari 4,37 juta ton tahun 2018 menjadi hanya 1,34 juta ton tahun 2022.
Langkah mitigasi risiko yang dapat dilakukan dalam jangka pendek dan panjang adalah fokus pada peningkatan produktifitas hasil pertanian utama, khususnya padi. Dimana agenda pembentukan productivity commission (komisi produktifitas pertanian) yang berada di bawah kementerian pertanian perlu menjadi prioritas.
Komisi ini bertugas mengidentifikasi langkah-langkah perbaikan mulai dari hulu hingga hilir termasuk mitigasi risiko perubahan iklim untuk meningkatkan produktifitas komoditi pertanian strategis di tengah keterbatasan lahan pertanian. Salah satu contoh sukses pembentukan komisi serupa yang dapat menjadi benchmark adalah productivity commission di Australia yang secara aktif memberi masukan kepada pemerintah Australia. (*)