Bukan hanya nama-nama pendamping para bakal calon presiden yang ditunggu banyak orang saat ini. Siapa pendamping Anies, Ganjar, atau Prabowo jika benar-benar maju capres dari koalisi poros Gerindra. Tetapi penantian atas keputusan Mahkamah Konstitusi atas gugatan uji sistem pemilu 2024, tak kalah dinantikannya. Hal ini terkait nasib ratusan ribu calon anggota legislative (caleg) yang akan bertarung di pemilu legislatif Februari mendatang. Apakah akan bertarung terbuka atau malah tertutup.
Pengajuan daftar calon legislatif sementara (DCS) oleh partai-partai politik, masih mengacu pada sistem terbuka sebagaimana sistem yang berlaku pada pemilu 2019 lalu. Artinya, nomor urut tidak terlalu berpengaruh terhadap terpilih atau tidaknya seorang caleg. Peluang semua caleg relatif sama, karena keterpilihan caleg berdasarkan pada suara terbanyak. Popularitas dan elektabilitas menjadi salah satu faktor penopang kemenangan. Beda halnya jika sistemnya tertutup, persaingan menuju kursi parlemen ditentukan oleh partai melalui nomor urut terkecil. Itu sebab, peluang caleg nomor buntut sangat kecil alias mustahil terpilih.
Atas dasar itulah, banyak caleg yang berharap sistem pemilu tertutup tidak berlaku pada pemilu 2024. Pasalnya, tahapan sudah sangat jauh. Sementara perubahan besar dimungkinkan terjadi, terutama di internal parpol, jika sistem tertutup kembali berlaku. Kecuali PDI Perjuangan yang sedari awal meminta pemberlakuan sistem tertutup, partai politik lainnya sangat berharap sistem pemilu tetap terbuka. Lalu, kecuali caleg PDI-P, apakah caleg dari parpol lain masih legowo dan siap jika perolehan kursinya ditentukan oleh parpol.