FAJAR, MAKASSAR– Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan menambah masa jabatan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari empat tahun menjadi lima tahun. Usulan judicial review yang diajukan wakil ketua KPK, Nurul Ghufron tersebut dinilai tidak terlalu urgen.
Peneliti ACC Sulawesi, Ali Asrawi Ramadhan mengatakan gugatan perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK yang disetujui oleh MK adalah keputusan yang sah. Namun ada tanda tanya besar yang muncul. Dimana seharusnya pengusulan tersebut seharusnya dilakukan oleh masyarakat atau aktivis penggiat anti korupsi, tetapi kenyataannya dilakukan dari pimpinan KPK itu sendiri.
Terkait penambahan masa jabatan dari empat tahun ke lima tahun sebagaimana diatur dalam Pasal 34 UU KPK. Menurutnya tidak ada basis argumentasi MK dalam ratio decidendi atau pertimbangan putusannya. Terlebih KPK adalah lembaga penegak hukum, dimana semakin panjang masa jabatannya, semakin terbuka pula potensi abuse of power.
“Seharusnya KPK itu fokus pada perbagikan organisasinya atau kinerja, tapi malah pusing mengurusi perpanjangan masa jabatannya. Kinerja KPK selama ini belum maksimal, masih banyak catatan negatif yang menjadi PR-nya,” kata Ali Asrawi Ramadhan, Kamis, 25 Mei.
Lebih lanjut pria yang akrab disapa Ayi ini menuturkan putusan MK pada prinsipnya bersifat prospektif atau berlaku untuk dimasa yang akan datang. Jadi putusan soal masa jabatan dari empat ke lima tahun, harusnya juga berlaku untuk pimpinan KPK berikutnya, bukan yang sekarang.
“Cuma dugaan saya, pemerintah akan menafsirkan lain putusan MK itu. Bisa jadi mereka menafsirkan perpanjangan otomatis untuk pimpinan yang sekarang. Dan itu bisa jadi berhubungan dengan kepentingan untuk mengamankan Pilpres 2024,” ungkapnya.
Pakar Hukum Administrasi Negara (HAN) UNM, Herman menjelaskan pada dasarnya ketentuan masa jabatan Komisioner KPK sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 34 UU Nomor 19 Tahun 2019 yang kemudian di nyatakan bertentantangan dengan Pasal 24 ayat 1 UUD NRI ’45 dan tidak mempunyai kekuatan mengikat, dapat diperdebatkan. Oleh karena ketentuan konstitusional pasal 24 ayat 1 merupakan norma konstitusional yang mengatur tentang kekuasaan kehakiman, di mana pada pasal 24 ayat 2, kekuasaan kehakiman bermakna sebagai kekuasaan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan peradilan yang ada di bawahnya, baik peradilan umum, agama, militer, PTUN, dan sebuah Mahkamah konstitusi.
Pertanyaan yuridis-konstitusional adalah, pertama apakah jabatan para komisioner KPK dapat dipersamakan dengan jabatan di lembaga kehakiman. Kedua kedudukan hukum KPK dalam konstitusi dapatkah dikonstruksi secara analogi dapat dipersamakan dengan kedudukan hukum Mahkamah Agung, peradilan yang ada di bawah Mahkamah Agung, dan Mahkamah Konstitusi. Ketiga soal kedudukan hukum KPK yang secara eksplisit tidak disebutkan di dalam UUD NRI 45′ atau dengan kata lain, tidak ada satupun frasa “KPK”, atau bahkan tidak satupun pasal di dalam UUD NRI ’45 yang menyebutkan suatu badan, komisi atau lembaga negara dalam hal pemberantasan korupsi.
Apakah mungkin dipersamakan dengan lembaga negara yang secara eksplisit dan tegas disebutkan dalam UUD NRI ’45, atau bahkan, hakim menyamakan begitu saja kedudukan hukum Mahkamah Agung. Misalnya pasal 24 UUD NRI ’45 dengan KPK sebagai lembaga negara yang constitutional importance.
“Apalagi dikaitkan dengan masa jabatan politis presiden dan anggota-anggota DPR, oleh karena KPK tentu saja bukan lembaga politis, namun demikian merupakan lembaga atau sebagai aparat penegak hukum dalam hal tindak pidana yang khasnya merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) atau merupakan lembaga yang menjadi garda terdepan dalam pemberantasan korupsi. Demikian juga, judisial review (JR) ini dilakukan pada masa-masa intensitas politik yang panas memasuki Bacalon presiden, termasuk Bacalon legislatif,” ucapnya.
Herman menambahkan dengan putusan MK tersebut semakin banyak menimbulkan tanda tanya. Soal putusan hakim Mahkamah konstitusi yang mengabulkan tuntutan pemohon. Walaupun demikian, sesuai dengan doktrin yang berlaku dalam hukum bahwa tidak berlaku surutnya suatu peraturan, maka putusan hakim mahkamah konstitusi tidak berlaku kepada para komisioner KPK yang sekarang ini menjabat.
“Menurut saya terlepas dari segala perdebatan putusan MK, tetap saja putusan ini tidak dapat berlaku surut untuk pimpinan saat ini,” ucapnya.
Sebelumnya MK mengabulkan gugatan uji materi judicial review (JR) terkait masa jabatan Pimpinan KPK dari empat tahun, menjadi lima tahun dalam Pasal 34 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK. Permohonan uji materi terkait masa jabatan Pimpinan KPK itu diajukan oleh Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron.
“Mengabulkan permohonan untuk seluruhnya,” ucap Ketua MK Anwar Usman membacakan amar putusan di Gedung MK.
“Menyatakan Pasal 34 UU KPK yang semula berbunyi ‘Pimpinan KPK memegang jabatan selama empat tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan’ bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘Pimpinan KPK memegang jabatan selama 5 tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan,” sambungnya.
Dalam pertimbangannya, Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyatakan masa jabatan pimpinan KPK yang berbeda dengan pimpinan atau anggota lembaga lainnya dinilai telah melanggar prinsip keadilan, rasionalitas, dan diskriminatif.
“Guna menegakkan hukum dan keadilan, sesuai Pasal 24 ayat 1 UUD 1945 dan menurut penalaran yang wajar, ketentuan yang mengatur tentang masa jabatan pimpinan KPK seharusnya disamakan dengan ketentuan yang mengatur tentang hal yang sama pada lembaga negara constitutional importance yang bersifat independen yaitu selama lima tahun,” ucap Arief.
MK juga menilai, jika masa jabatan pimpinan KPK hanya empat tahun, maka DPR mempunyai kewenangan untuk memilih pimpinan KPK sebanyak dua kali. Hal ini dikhawatirkan akan memengaruhi independensi KPK.
“Kewenangan DPR untuk dapat melakukan seleksi atau rekrutmen pimpinan KPK sebanyak dua kali dalam periode masa jabatan kepemimpinannya, berpotensi tidak hanya mempengaruhi independensi pimpinan KPK, tetapi juga beban psikologis dan benturan kepentingan,” pungkas Arief. (edo)