Rabu, 17 Mei lalu, para pencinta buku di Indonesia memperingati hari Buku Nasional. Harbuknas merupakan momen yang tepat untuk mengingatkan pentingnya budaya membaca buku, khususnya di kalangan anak-anak dan remaja. Rendahnya minat baca masyarakat Indonesia menjadi suatu masalah serius di tengah gencarnya literasi digital disosialisasikan. UNESCO menyebutkan Indonesia menempati urutan kedua dari bawah soal membaca dengan 0,001 persen atau dari 1.000 orang Indonesia hanya satu orang yang rajin membaca.
Worldβs Most Literate Nations Ranked yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, menyebutkan Indonesia menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca, berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61). Padahal, dari segi penilaian infrastuktur untuk mendukung membaca, peringkat Indonesia berada di atas negara-negara Eropa. Hebatnya, data dari wearesocial per Januari 2017 mengungkap kalau orang Indonesia bisa menatap layar gadget kurang lebih 9 jam sehari. Artinya, orang Indonesia kuat membaca (menatap) di gadget, sehingga tidak heran dalam hal kecerewetan di media sosial orang Indonesia berada di urutan ke 5 dunia.
Dunia media sosial lewat gadget semakin menjauhkan orang dari membaca buku, kecuali yang sudah kadong cinta, dimana sejak kecil sudah hobi membaca buku. Jati diri sebagai pencinta buku tergerus, dimana kegiatan membaca banyak diabaikan oleh hampir semua kalangan usia. Padahal, melalui kegiatan membaca akan banyak manfaat yang bisa diperoleh. Inilah juga yang terjadi pada anak-anak milenial, dimana perkembangan dunia teknologi dengan segala fitur-fiturnya “memanjakan” mereka lebih suka membuka sosial media daripada membaca buku.
Akibatnya buku-buku diperpusatakaan tak ubahnya susunan kertas berdebu sebagai sarang rayap. Salah satu faktor penyebab terjadinya hal demikian, karena semakin berkembang teknologi dan komunikasi. Tidak terkecuali di dunia Perguruan Tinggi yang dianggap mercusuar para ilmuwan. Dengan hadirnya teknologi informasi, beberapa kemajuan teknologi akan memengaruhi dunia pendidikan seperti 3D Digital Printing, Virtual and Augmented Reality, Gamification, Artificial Intelligent, dan Learning Analytics.
Pelaksanaan digital literacy di Perguruan Tinggi yang merupakan suatu usaha atau kegiatan yang tidak semata-mata penguasaan teknologi komputer dan keterampilan penggunaan internet belaka yang berkonotasi menjadikan manusia sebagai sosok robotic belaka, melainkan lebih luas daripada itu yakni memadukan “literasi” dan “digital”. Literasi digital sendiri merupakan pengetahuan serta kecakapan pengguna dalam memanfaatkan media digital, seperti alat komunikasi, jaringan internet dan lain sebagainya. Kecakapan pengguna dalam literasi digital mencakup kemampuan untuk menemukan, mengerjakan, mengevaluasi, menggunakan, membuat serta memanfaatkannya dengan bijak, cerdas, cermat serta tepat sesuai kegunaannya.
Sayangnya, kehadiran literasi digital sedikit banyaknya mengurangi minat membaca buku, apalagi membeli buku. Alih-alih membeli buku, uang lebih banyak dibelanjakan paket atau kuota internet. Masih untung jika masih bisa membaca e-book atau jurnal bagi pendidik dan anak didik di gadget. Padahal diketahui, ada beberapa keuntungan membaca di buku lebih baik daripada di gadget. Di antaranya membaca buku jauh lebih awet di dalam ingatan dibanding membaca di layar gadget. Dengan risiko efek radiasi serta harus menyesuaikan daya akomodasi lensa mata dengan sumber cahaya dari layar gadget. Banyak membaca, banyak lupa. Banyak mengingat, jauh dari lupa. Memegang buku lebih mengizinkan waktu untuk mengingat, sedangkan di gadget banyak gangguan karena banyaknya fitur. Selain itu, membaca buku dalam bentuk fisik lebih meningkatkan konsentrasi dan daya ingat dibanding membaca di gadget. Wallahu aβlam