OLEH: Yudhistira Sukatanya
Mengapa saya harus menikah?
Haruskah perempuan menikah?
Apa urusannya dengan kalian ?
Itu gerundelan Kirana, seorang perempuan Makassar berusia 37 tahun sesaat setelah acara akad nikahnya baru saja usai. Dalam hati, perempuan telat nikah itu sesungguhnya protes terhadap perlakuan semena-mena yang dilakukan pada tubuhnya saat pelaksanaan prosesi appabattu nikkah (istilah Makassar) atau mappasikarawa (istilah Bugis ).
Appabattu nikkah atau mappasikarawa adalah rangkaian prosesi perkawinan adat Makassar – Bugis. Proses persentuhan pertama kali pengantin pria terhadap mahramnya, pengantin wanita dalam ikatan sah sebagai suami istri. Prosesi ini juga dikenal sebagai tanda batal wudhu.
Peristiwa mendebarkan itu diawali dengan permohonan buka pintu yang dijaga sejumlah keluarga mempelai wanita. Alot dengan negosiasi. Pintu baru boleh dibuka jika negosiator keluarga mempelai pria sudah menunaikan syarat memberikan sejumlah uang sebagaimana permintaan si penjaga pintu. “Seperti bayar tarif di gerbang tol.” Sindir Kirana.
Anggota tubuh mempelai wanita yang disentuh adalah telinga, pundak, kerongkongan serta bagian dada. Proses sentuhan ini masing-masing bermakna bahwa menyentuh telinga berarti berharap agar istri senantiasa mendengar apa kata suami. Kemudian, menyentuh kerongkongan adalah simbol bahwa suami akan menjamin rezeki halal yang diberikan pada keluarganya dan menyentuh pundak berarti kedua mempelai siap untuk saling bahu-membahu membangun rumah tangga. Terakhir, menyentuh bagian dada istri sebagai penanda kesuburan, dengan berharap agar mereka diberikan keturunan yang saleh dan salihah.
Peritiwa inilah menjadi pemantik cerita “Kisah Kirana” yang merasa harkatnya dilecehkan. Sebagai perempuan Makassar yang hidup di kota metropolitan, ia sudah mengenali hak asasi perempuan, memahami hak pribadi, hati Kirana berontak.
Kirana menolak penyalahgunaan kewenangan dalam prosesi appabattu nikkahitu. “Perempuan Makassar harus memiliki siri” kata Kirana. Tapi ia dibuat tak berdaya dalam aturan adat-istiadat yang mengungkung, mesti ia taati. Menentang istiadat ini bisa berdampak siri, mempermalukan keluarga. Gerundelan berisi protes panjang pun hadir dalam pentas monolog di panggung teater terbuka Gedung Kesenian Societeit de Harmoni.
Aktris Athirah M Nur di bawah arah sutradara Wawan Aprilianto berusaha sungguh-sungguh menyampaikan pesan bernuansa pelecehan gender itu dengan lugas. Meski demikian, Athirah sesekali masih terpeleset dalam konsistensi memainkan karakter dewasa perempuan Makassar terutama waktu bolak-balik pemeranan ibu atau anak. Kontrol pada gestur dan dialek khas Makassar masih butuh proses latihan, pengendapan wacana budaya, agar terungkap dengan cermat. Wawan selaku sutradara pun perlu lebih akurat menetapkan kejelasan pilihan frame estetis, Makassar atau Bugis. Karena pilihan tersebut akan menguatkan sejumlah penandaan. “Jangan hanya asyik di permukaan, perlu menyalami kedalaman.” Saran Ami Ibrahim dalam sesi tanggapan.
Nomor pertunjukan monolog “Kisah Kirana” yang ditulis oleh Nirwana Aprianty ini tampil pertama dalam dua malam. Senin dan Selasa 1 dan 2 Mei 2023 di Teater Arena Gedung Kesenian Societeit de Harmonie pukul 20.00 hingga selesai.
Pertunjukan kedua menyajikan cerita “Mutiara Pulau”, kali ini Nirwana Aprianty sang penulis naskah yang sekaligus sutradara bercerita tentang Daeng Cia, perempuan setengah baya yang berprofesi sebagai pappalimbang, penawar jasa penyeberangan perahu, dari satu dermaga ke pulau wisata.
Perempuan single parent yang menikah muda di usia 15 tahun ini punya seorang anak perempuan ( tak disebutkan namanya). Sang anak pengepul kepiting di tepi pantai, punya cita-cita bersekolah tinggi, jadi polisi untuk menangkap orang-orang jahat. Sayang latar cita-cita anak itu tak dijelaskan.
Sebagaimana naluri pada hati seorang ibu, di hati daeng Cia pun tumbuh keinginan untuk melihat anaknya bersekolah, berhasil meraih cita-cita. Meski ia juga paham, itu tidak mudah. Padahal seorang warga negara sungguhnya berhak memperoleh kesempatan pendidikan dan hak tersebut dilindungi Undang-undang. Hak itu dicatat oleh Daeng Cia dalam notes yang selalu tersimpan di Waistbag, tas pinggangnya. “Impian untuk berhasil hidup di kota, selalu ada jalannya kalau kita mau berusaha.” Ujarnya.
Untuk mewujudkan maksud hatinya Daeng Ciarela bekerja mandiri demi mengatasi sendiri masalah ekonomi keluarga. Ia paham, kemiskinan kadang menjadi alasan warga sekampungnya untuk segera menikahkan anak pada usia dini.
Pada masyarakat pulau masih subur anggapan bahwa pendidikan tidak lebih penting bagi anak perempuan dibanding terpaksa menyandang stigma negatif terhadap perempuan dengan status perawan tua.
Saban hari Daeng Cia siaga untuk mengantar penumpang menuju ke pulau sejauh 4,6 Km dari dermaga kota Makassar. Penghasilannya tergantung musim dan kondisi alam. Pekerjaan Daeng Cia itu mempertemukannya dengan banyak orang. Ada saja orang baik yang prihatin dan menawari bantuan bekerja di pabrik atau jadi buruh cuci.
Mega Herdianty tampil sebagai pemeran Daeng Ciadengan bekal pengalaman dan pengetahuan keaktoran. Karakter perempuan pulau yang sederhana, ditinggalkan pergi oleh suami, coba dihidupkan mantan jawara festival monolog ini. Yang terasa sedikit mengganggu adalah diksi-diksi dalam dialognya yang kadang melebihi takaran sebagai perempuan pulau. Terlalu cerdas ungkapannya. Tapi, boleh jadi itu akibat pengaruh gawai dan fasilitas internet yang menyusupkan diksi-diksi manusia modern yang individualistis ke kesadaran Daeng Cia.
Daeng Cia pun menggerundelkan dengan fasih isu kesetaraan gender. Pernikahan dini. Persoalan klasik dalam interaksi kemasyarakatan di pulau. Pada segmen lain ia mengeluhkan minimnya akses memperoleh pendidikan ke perguruan tinggi di kota. Tekanan ekonomi dan budaya yang berdampak sosial bagi warga pula sepertinya.
“Berikan anakku ijazah, bukan buku nikah.” Pinta Daeng Cia.
“Beri jodoh yang pantas.” Gurau Bahar Merdhu, komandan rombongan Sandiwara Petta Puang dalam sesi diskusi.
Usai pertunjukan dilanjutkan dengan diskusi. Tampil sebagai narasumber Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Sosial Anak (DP3A), Kota Makassar. Achi Soleman. “Edukasi dan literasi menjadi masalah utama dalam pembentukan mindset, pola pikir warga, agar mereka melek wacana gender.” Kata kunci Achi.
Dikesempatan selanjutnya, Sartika pegiat perjuangan kesetaraan gender menilai pentingnya meningkatkan peran wanita dalam keluarga. Agar tidak lagi memperlakukan perempuan sebagai pemeran nomor dua dalam menjamin masa depan anak. Tika juga menggelisahkan bertaburnya narasi kekerasan, bulliying berbasis gender. Kini, perlakuan buruk itu kian marak di ruang publik.
Dua pertunjukan monolog dari Teater Kala telah berperan sebagaimana Pappalimbang. Menyambungkan pemahaman positif dan sikap asersif atas isu kisruhkesetaraan gender. Dialektika itu kini telah disajikan dengan baik melalui pertunjukan seni. “Makin banyak pertunjukan semacam ini akan semakin baik. Teater menjadi instrumen pemberdayaan perempuan.” harap Achi Soleman. Ia sangat setuju dan mendukung jika selanjutnya 2 monolog itu dipentaskan di tiga Pulau, Lau-lae, Lakkang dan Kodingareng.
Berharap seperti itu memang perlu dukungan kolaborasi para pihak. Sebagaimana event pertunjukan monolog kali ini yang didukung oleh Kemendikbudristek melalui Dana Indonesiana, LPDP, Toko Tepijalan dan Sanggar Seni Sipakainga. Tak kalah pentingnya adalah dukungan penonton, support masyarakat.
Tamamaung, awal Mei 2023.