OLEH : Dian Fitri Sabrina, Dosen Hukum Tata Negara Unsulbar
Perkembangan politik saat ini semakin berkembang dan dinamis. Berdasarkan hasil pemilihan yang diselenggarakan oleh KPU RI Tahun 2019-2024 dapat digambarkan bahwa peta kekuatan politik Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) diisi oleh sembilan partai politik yang memenangkan Pemilu Legislatif 2019. Mereka mengisi 575 kursi yang tersebar dalam 80 daerah pemilihan (dapil).
Dari jumlah tersebut, PDIP mendapatkan kursi paling banyak yaitu 128 kursi. Kekuataan partai politik di daerah juga ditunjukkan oleh seberapa besar jumlah keterwakilan kepala daerah yang berasal dari partai politik atau yang didukung oleh partai politik. Semakin besar jumlah kepala daerah dari partai politik diyakini mampu meningkatkan elektabilitas partai politik.
Namun kondisi saat ini, partai politik telah menyasar ke kalangan akademis dan keperguruan tinggi. Akibatnya perguruan tinggi negeri menjadi ajang politik praktis yang jauh dari tujuannya. Perguruan tinggi merupakan akar idealis bagi orang-orang intelektual dan bermoral dan melahirkan orang-orang terdidik.
Hal ini menjadi berubah karena terjadi peta politik kampus dan polarisasi akibat pemilihan Rektor. Hal tersebut memunculkan berbagai macam persoalan yaitu apakah Rektor terpilih berasal dari suara mayoritas internal dan harapan perguruan tinggi negeri atau lebih menguatkan hubungan antara perguruan tinggi negeri dengan pemerintah berdasarkan hak suara 35 persen menteri terhadap pemilihan Rektor?
Di Indonesia, di sisi lain perguruan tinggi dianggap perpanjangan tangan dari pemerintah dengan agenda pendidikan, namun peningkatan kualitas dan tatanan dalam perguruan tinggi menjadi menurun. Peraturan Menristekdikti Nomor 19 Tahun 2017 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Pemimpin Perguruan Tinggi Negeri Pasal 9 ayat (3) menyatakan bahwa Menteri memiliki 35 persen hak suara dari total pemilih yang hadir dan 65 persen hak dan suara masing-masing senat memiliki hak suara yang sama”.
Moment ini sering sekali menjadi ajang yang dikhawatirkan karena calon Rektor bersaing untuk mengambil suara Menteri dengan cara-cara politis, misalnya orang-orang dari calon Rektor mendekat dan mencari suara di partai politik penguasa sehingga suara menteri diyakini akan mengarah padanya dan hal ini dimungkinkan melahirkan calon-calon Rektor yang tidak kompatibel dan berkualitas bahkan tidak sering pemilihan calon Rektor di internal dikalahkan oleh 35% suara menteri. Jika ada satu calon yang mendapat suara lebih besar dari senat universitas, namun Menteri memberikan suaranya untuk calon lain, maka calon yang semula unggul itu akan kalah.
Misalnya kasus pemilihan Rektor ITS Periode 2011-2015. Hasil pemilihan Senat Universitas menyebutkan bahwa Priyo Suprobo mendapat 60 suara, kemudian Triyogi Yuwono 39 suara dan Daniel M. Rosyid 3 suara. Namun suara Menteri 35 persen mayoritas diberikan kepada Triyogi Yuwono sehingga Triyogi Yuwono inilah yang kemudian menjadi Rektor ITS. Kasus ini juga masih ditemukan di kampus-kampus lain hingga saat ini. Bahkan sekarang dilakukan secara terang-terangan dengan melakukan lobi-lobi kepada partai politik penguasa. Masalahnya kemudian jika ini dibiarkan akan memengaruhi kinerja dan kemadirian universitas. Legitimasi Rektor terpilih menjadi kurang karena tidak didukung penuh oleh senat universitas.
Persoalan hak suara Menteri 35 persen menjadikan ajang lobi melobi menjelang pemilihan Rektor. Mulai dari melobi ketua DPC atau Ketua DPW partai politik penguasa atau partai politik yang memiliki kursi mayoritas di DPR, atau melobi langsung kepada Menteri atau langsung ke Istana melalui orang terdekat Presiden. Dari persfektif hukum, hal seperti ini justru jauh dari sistem demokrasi dalam pemilihan Rektor dan melahirkan ketidakpastian hukum terhadap keterpilihan Rektor ke depan karena menghilangkan kesetaraan hak dan didominasi oleh pengaruh kekuatan partai politik.
Berdasarkan hal tersebut perlu dibuatkan sebuah solusi agar Rektor terpilih dapat bersinergi dengan baik dan merupakan Rektor yang ideal yang memiliki komitmen tinggi dalam memajukan marwah pendidikan dan moralitas untuk mencerdaskan kehidupan bangsa serta mengembangkan manusia yang seutuhnya.
Ada 3 solusi yang ditawarkan
Yang pertama adalah melalui tahapan prapendahuluan. Hal ini perlu diatur dalam Peraturan Rektor, mekanisme prapendahuluan sebelum masuk dalam tahap seleksi calon dimulai, apakah bakal calon yang masuk sebagai calon Rektor mampu membuat karya dan kemajuan kampus dengan melihat rekam jejak prestasi, loyalitas terhadap perguruan tinggi, jujur dan bertanggungjawab.
Tahapan ini akan memudahkan calon yang tersaring benar-benar adalah calon yang paham terkait universitas dan bukan semata-mata untuk menduduki jabatan dengan tujuan memperkaya diri dan kelompok tertentu, sebab keberhasilan universitas sangat dipengaruhi oleh kinerja dan tanggungjawab yang maksimal oleh seorang Rektor.
Yang kedua adalah melalui tahapan seleksi dan pemilihan. Tahapan seleksi dan pemilihan rektor harus diatur dalam peraturan menteri sebagai aturan pelaksana, tahapan seleksi dan pemilihan sangat penting sebelum masuk dalam tahapan keterpilihan rektor untuk 4 tahun masa kerja.
Tahapan seleksi dan pemilihan khususnya dalam pengajuan nama calon minimal 4 orang menjadi ajang yang berat karena tim pemilihan Rektor universitas dikhawatirkan melakukan tipudaya untuk berupaya menggagalkan bakal calon yang dianggap menghalangi calon lain untuk maju dan yang terjadi adalah saling menjatuhkan satu sama lain, misalnya 2 calon yang maju masih memiliki hubungan keluarga atau orang yang dianggap lawan dari calonnya, sehingga melakukan upaya mencekal seseorang untuk maju sebagai calon Rektor.
Tahapan pemilihan juga seringkali dipengaruhi oleh pembagian kekuasaan didalamnya, sebab sebelum pemilihan ada deal-deal tertentu yang dilakukan bagi yang bersedia membagi suaranya terhadap calon. Berdasarkan hal tersebut perlu dibuatkan aturan sebagai norma dasar penetapan tim seleksi pemilihan Rektor mulai dari tahapan prapendahuluan hingga terpilihnya Rektor agar panitia yang dibentuk tidak memiliki hubungan darah atau kerabat dari bakal calon yang lolos sebagai calon Rektor sehingga mekanisme rekrutmen pemilihan Rektor dapat dilakukan secara transparan dan terbuka.
Yang ketiga adalah menghilangkan hak menteri 35 persen dengan memberikan hak itu kepada Presiden untuk menentukan siapa calon Presiden dari 3 calon yang diusung oleh internal perguruan tinggi untuk menjadi Rektor, dengan pertimbangan bahwa calon yang diusung benar-benar calon yang diinginkan oleh elemen kampus yaitu berdasar atas suara mahasiswa, dosen dan para petinggi kampus. Hal ini dianggap lebih efektif dan memudahkan proses pemilihan Rektor ke depan yang dilakukan secara transparan, terbuka dan lebih demokratis. (*)