OLEH: Sukardi Weda, Guru Besar Universitas Negeri Makassar
Dari pagi hingga sore hari, tepatnya Kamis, 9 Maret 2023, publik ramai berkomentar akibat video yang beredar di media sosial dan berita yang memperlihatkan dua orang yang berpapasan, diikuti narasi Ketua DPRD Luwu Timur enggan salami warga. Berita tersebut pun viral di berbagai media sosial WhatsApp (WA), ada yang mencemoh, protes, sinis, namun ada juga yang membela sang ketua dewan tersebut.
Setelah mencermati secara seksama video yang beredar, saya kemudian berkomentar di salah satu grup WA, yang beberapa anggotanya mendiskusikan video tersebut, bahkan saling berbalas dengan argumen masing – masing. Awalnya saya hanya sesekali mengintip dan membaca komentar orang – orang yang saling lempar alasan antara yang pro dan kontra. Rasa geli saya membuncah dan turut berkomentar. Komentar saya berbunyi “kelihatan ini Pak ketua dewan tidak sengaja, hal ini dapat dilihat dari beberapa alasan, antara lain: dari jauh dia sedang menunduk, sedang buru – buru, saat berpapasan, dia agak menyerong untuk menghindar supaya tidak bertabrakan dengan seseorang yang berpapasan dengannya, dan kemungkinan tidak memperhatikan tangan orang yang keluar dari gedung tersebut karena pandangannya mengarah ke depan kiri. Dari jauh memang tangan sang ketua dewan sudah digenggam dan tangannya yang digenggam diarahkan ke belakang agar tidak mengenai tubuh orang tersebut, dan ditambah posisi tubuh yang menyerong untuk menghindari tabrakan (baku tabrak). Dan secara kasat mata, kelihatannya orang yang keluar dari gedung tersebut seolah – olah mengisyaratkan bahasa tubuh, yaitu mappatabe, minta permisi, sehingga sang ketua dewan memosisikan tangan tergenggamnya di belakang punggung agar tidak mengenai tangan orang tersebut.
Video yang beredar tersebut menarik untuk dikaji lebih dalam berdasarkan pendekatan dan teori psikologi, linguistik, komunikasi non-verbal, komunikasi lintas budaya, semiotik, dan bahasa tubuh (body language).
Dalam buku yang ditulis oleh Sulisworo Kusdiyati dan Irfan Fahmi bertajuk “Observasi Psikologi,” disebutkan bahwa tingkah laku merupakan objek yang akan diamati dan dicatat yang pada akhirnya akan dimaknakan, atau diambil kesimpulannya. Oleh karena kita mengamati tingkah laku, maka fokus kita adalah kepada semua perbuatan individu ketika memberikan respons terhadap berbagai stimulus.
Terkait dengan beragam spekulasi di media, yang memojokkan sang ketua dewan, hemat saya video yang beredar tersebut perlu diberikan pemaknaan atau interpretasi yang tidak menyesatkan yang berpotensi untuk merugikan dan memojokkan sang ketua dewan tersebut, baik dari sisi psikologi, linguistik, semiotik, komunikasi non-verbal, komunikasi lintas budaya, maupun bahasa tubuh.
Dalam buku berjudul “I Know You: 99% membaca kejujuran/kebohongan pacar, pasangan, rekan kerja, calon klien, serta membaca microekspresi, eye accessing cues, dan lainnya dari bahasa tubuh,” mengatakan bahwa “tangan menggenggam satu sama lain biasanya adalah respons dari kekhawatiran, sedang ada dalam kondisi tidak tenang, dan ada tekanan yang sedang dirasakan dalam kondisi tertentu. Genggaman tangan adalah upaya pengalihan tekanan dan perilaku negatif seperti kondisi emosional.
Hal ini sejalan dengan alasan sang ketua dewan dalam permohonan maafnya yang juga tersebar di media sosial, dengan mengatakan bahwa “Saya tidak ada maksud untuk menolak berjabat tangan, hanya miskomunikasi saja. Kebetulan saya buru – buru untuk menghadiri agenda pemilihan Wakil Bupati Luwu Timur saat itu, belum lagi saya dalam kondisi tegang karena baru kali ini kita melaksanakan pemilihan Wakil Bupati di DPRD.”
Rasa – rasanya memang, di tahun politik ini, anggota dewan atau seseorang yang ingin meraih jabatan politik tertentu, sebagai anggota dewan atau pemimpin di daerah, untuk enggan berjabat tangan, mengumbar senyum atau mendekatkan diri kepada konstituen, pemilik suara. Saatnyalah pencitraan dan personal branding diumbar kepada publik pemilik suara. Saat ini adalah tahun citra, saatnyalah para pencari kuasa untuk membranding dirinya dengan penampilan tampang dan jualan citranya yang menarik simpati publik. Sesuatu yang tidak masuk akal sehat, ketika saatnya pencitraan, tiba – tiba ada seseorang yang tiba – tiba memperlihatkan arogansinya untuk tidak menyapa, senyum, bahkan enggan untuk sekedar berjabat tangan.
Kelihatannya memang, sang Ketua Dewan tidak menyadari kalau seseorang itu mau bersalaman atau berjabat tangan dengannya. Disadari atau tidak disadari?. Dalam buku yang ditulis oleh James Borg (2020), bertajuk “Pintar Membaca Bahasa Tubuh Orang Lain,” disebutkan “Seperti halnya perilaku spontan, bahasa tubuh merupakan sesuatu yang bisa digunakan dengan maksud tertentu untuk memengaruhi sebuah interaksi. Kita semua menjalani kehidupan sehari – hari dengan mengirimkan pesan kepada dunia melalui bahasa tubuh. Namun begitu, Anda perlu mengingat dua hal. Pertama, sebagian dari isyarat ini disengaja (karena disadari). Kedua, banyak gerakan yang berada di luar kontrol dan hal itu disebabkan oleh faktor fisiologis (karena tidak disadari).
Dengan alasan – alasan yang saya kemukakan tersebut, dengan husnudhon billah, menunjukkan bahwa sang ketua dewan tidak bermaksud untuk memarginalkan orang yang hendak berjabat tangan dengannya. Ini juga tidak menunjukkan arogansi sang ketua dewan tersebut.
Video yang sedang beredar, diikuti kutipan permintaan maaf sang ketua dewan menunjukkan bahwa sang ketua dewan adalah pemimpin yang rendah hati (humble), karena tanpa sungkan dan dia pun berbesar hati, menyampaikan permohonan maafnya kepada publik. Terlepas sengaja atau tidak sengaja untuk enggan berjabat tangan dengan seseorang yang berpapasan dengannya, sang ketua dewan tersebut perlu diapresiasi dan diacungi jempol karena dapat meredam spekulasi dan polemik yang beredar di publik.
Video yang mendapatkan stigma arogansi seorang pejabat publik tersebut dari para netizen atau publik yang menikmati video berdurasi sekira 15 detik tersebut sekonyong – konyong mendapatkan penilaian negatif dari publik. Hal ini cukup beralasan karena memang selama ini tidak sedikit pejabat publik yang memperlihatkan arogansi kepada publik, terutama kepada konstituen mereka sendiri pasca pileg atau pilkada digelar. Ada yang mengganti nomor kontak HP, ada yang seolah – olah telah menjadi tua renta tanpa peduli lagi orang – orang di sekitarnya, lupa segalanya, ada juga yang enggan untuk menerima telepon dan membalas chat orang – orang yang telah susah payah mendukung dan memilihnya.
Selama ini publik juga acapkali disuguhi perilaku dan tutur kata yang sangat vulgar, tutur kata yang tidak mengindahkan etika dan budaya sebagai orang beradab, sesekali juga disuguhkan perilaku arogansi seorang pejabat publik. Ini semua memancing publik, untuk merespons sesuatu tanpa disaring sehingga menimbulkan polemik di tengah masyarakat. Publik lagi – lagi disuguhkan informasi yang tanpa disaring dan langsung memberikan stigama negatif atas perilaku seseorang, meskipun itu tidak ia sengaja. Inilah akibat hidup di era teknologi digital yang serba instan. Instan dalam menilai sesuatu tanpa menyaring kebenarannya. Inikah yang namanya manusia instan? Menilai sesuatu tanpa memungsikan semua indera yang dimiliki, nalar, dan logika. Penilaian yang diperoleh dengan cara instan hanya akan menghasilkan penilaian menyesatkan.