Penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) semakin marak. Anak jalanan (anjal) dan gelandangan pengemis (gepeng) makin ramai di jalan-jalan utama kota Makassar. Hampir di setiap persimpangan mereka bergerombol. Terutama jika ada lampu lalu lintas. Sementara di putaran separator jalan selalu ada rombongan ‘pengatur’ lalu laintas (lalin), khususnya bagi pengendara yang akan memutar. Mereka dikenal sebagai pak Ogah. Tujuannya meminta imbalan. Tak jarang, mereka seperti memaksa meminta imbalan. Bukannya membuat arus lalin lebih lancar, malah membuat macet. Namun, ada saja pengendara yang memberikan imbalan. Mungkin karena iba, atau mungkin karena khawatir diganggu. Ini yang membuat mereka tetap ada dan semakin banyak. Melihat fenomena ini seringkali muncul pertanyaan. Ini salah siapa?
Terkait regulasi, sebenarnya sudah ada peraturan daerah (perda) yang mengatur soal ini. Perda nomor 2 tahun 2008 tentang pembinaan anjal, gepeng, dan pengamen di Makassar. Bahkan perda ini mengatur tentang larangan memberikan uang di jalan. Tapi tampaknya penerapannya belum optimal. Penegakan aturan dan terkait larangan serta sanksi dalam perda tersebut bahkan tidak pernah diterapkan. Padahal seharusnya, jika semua pengendara mematuhi untuk tidak memberikan uang di jalan secara otomatis mereka tidak tertarik untuk tetap berada di jalan, mengemis dengan berbagai modus. Di sisi lain, pengendara yang tetap memberikan uang boleh jadi sebenarnya tidak tahu jika larangan tersebut sebenarnya sudah diatur. Atau mungkin sudah tahu, namun karena iba dan takut terganggu, maka mereka tetap memberi uang. Karena itu, maka perlu kembali disosialisasikan secara luas dengan memasang informasi dan papan bicara di setiap persimpangan. Dengan demikian, pengendara bisa membantu menyampaikan jika dilarang memberikan uang di jalan.
Regulasi sudah siap. Namun sayang sekali, penegakannya belum optimal. Memang ini salah satu kelemahan kita dalam proses pembuatan kebijakan. Mestinya, sebelum menetapkan aturan, salah satu yang perlu dipersiapkan adalah strategi efektivitasnya dalam penerapan. Mulai dari proses sosialisasi dan kesiapan untuk penerapan sanksi bagi para pelanggar. Selama ini terkesan kita sangat mudah menerbitkan regulasi, namun sangat lemah dalam penerapan.
Mengatasi masalah PMKS ini sesuangguhnya sangatlah kompleks. Perlu pendekatan multi dimensi dalam menyelesaikannya. Sebab, gejala ini tentu hanyalah muara dari persoalan-persoalan social yang tidak terselesaikan. Sehingga, jika hanya menggunakan pendekatan hokum tentu amat sulit mengatasinya. Masalah kemiskinan dan ketenaga kerjaan, juga masalah pendidikan menjadi aspek yang memicu masalah ini. Dengan demikian, maka mengatasinya perlu mendorong bagaimana lapangan kerja di ciptakan. Mereka membutuhkan keterampilan untuk bisa bekerja di sector-sektor informal. Untuk itu, perlu disiapkan pelatihan khusus. Dan yang terpenting pola pikir mereka harus disiapkan agar bisa menjadi pekerja keras dan mandiri. Tidak mengandalkan belaskasihan orang lain. (*)