OLEH: Abd. Rahman Hamid, Dosen Sejarah UIN Raden Intan Lampung
Najamuddin Daeng Malewa (1907-1950) lahir di Buton. Ia adalah tunggal dari Abd. Rahim dan Fatimah. Ayahnya diangkat oleh Sultan Buton sebagai kapitan orang Bugis dan Makassar di Buton. Rahim adalah saudagar besar yang memiliki kebun kelapa yang luas di Buton dan mempunyai banyak perahu yang dipakai untuk angkutan dagang ke Surabaya dan kawasan timur Indonesia (Rapi, 1988).
Daeng Malewa merupakan sosok yang sangat cemerlangan pada masa pergerakan nasional (1900-1942) dan revolusi (1945-1950). Ketika tokoh-tokoh lain bergiat dalam urusan politik, ia justeru sibuk memikirkan soal kemajuan pelayaran Indonesia.
Mengapa pelayaran? Dalam buku kecil Pelayaran Indonesia (1937) serta sejumlah artikel di majalah Doenia Dagang (1938, 1939) dan Sinar Selebes Selatan (1941), Daeng Malewa menulis bahwa persatuan antara penduduk dari ribuan pulau besar dan kecil akan lebih kokoh dan dapat saling membantu antara satu dengan yang lain, baik dalam hal ekonomi maupun politik dan sosial, bila ada suatu pelayaran yang teratur dan cocok dengan keadaan bangsa Indonesia.
Gagasan Daeng Malewa berpijak dari kesadaran sejarah. Sebelum kedatangan agama Hindu, pelayaran bangsa Indonesia telah meliputi seluruh perairan Indonesia dan manca negara yaitu Malaka, Manila, India, Tiongkok, Basra, Afrika Selatan, dan Australia Utara.
Banyak kerajaan besar di zaman bahari (dahulu kala) adalah kerajaan lautan (maritime kingdom) yang mempunyai angkatan laut yang besar, seperti Kedatuan Sriwijaya, Kerajaan Majapahit, Kesultanan Aceh, dan Kerajaan Makassar (Gowa-Tallo). Era dari kerajaan/kesultanan itu disebutnya Zaman Emas (Gouden Tijperk).
Menurut Daeng Malewa, kejayaan Makassar didukung oleh perdagangan maritim, keberanian orang Makassar dalam peperangan, dan kebijakan laut bebas (mare liberum) penguasa Makassar. Kemajuan kebudayaan bahari di Makassar dibuktikan dengan kitab pelayaran dan perniagaan yang dikodifikasi oleh Ammana Gappa pada 1676. Dari kitab ini terang bahwa orang Makassar dan Bugis telah berlayar ke Jawa, Sumbawa, Timor, Bengkulu, Aceh, Palembang, Banjarmasin, Malaka, Johor, Perak, dan Manila (lihat Fajar 08/01/2023).
Gouden Tijperk berakhir akibat perpecahan dalam kerajaan-kerajaan Nusantara yang dipicu hasrat kuasa yang berlebihan. Situasi itu dimanfaatkan oleh bangsa Barat (Portugis, Spanyol, Belanda, dan Inggris) menanamkan pengaruhnya di Tanah Air.
Di antara kekuatan Barat yang paling dominan dalam monopoli pelayaran niaga ialah kongsi dagang Belanda VOC. Semua perjanjian VOC dengan raja-raja Nusantara tak lain untuk meneguhkan monopolinya, sehingga pelayaran Indonesia terpuruk. Dengan hancurnya pelayaran (scheepvaart) bangsa kita, maka habislah arti perdagangan rakyat Indonesia, kata Daeng Malewa.
Setelah VOC, pelayaran Indonesia dimonopoli oleh kapal-kapal dari perusahaan multinasional Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM) yang beroperasi sejak 1891. Kapal-kapal ini diberi hak monopoli pengangkutan muatan oleh pemerintah, sehingga menyulitkan pelayaran rakyat melayani pengangkutan di jalur KPM yang hampir menjangkau segenap wilayah Indonesia.
Kalau sudah begitu, bagaimana nasib pelayaran rakyat? Pada konteks inilah, Ambtenaar Douane di Surabaya yakni Daeng Malewa memberikan ide dan langkah cerdas yakni membentuk organisasi pelayaran perahu bumiputera pertama di Indonesia, yakni Roekoen Pelajaran Indonesia (Roepelin).
Gagasan ini disampaikan dalam Kongres III Parindra di Malang pada 1934. Menurutnya, ada dua lasan penting memajukan pelayaran Indonesia. Pertama, pelayaran adalah suatu hal yang penting, baik politik maupun sosial ekonomi, untuk satu negeri kepulauan Indonesia.
Kedua, kepulauan Indonesia mempunyai syarat-syarat yang cukup untuk hidupnya pelayaran bangsa sendiri, sehingga sudah selayaknya rakyat digiatkan untuk menolong dirinya sendiri, dengan jalan mengadakan satu badan organisasi yang kuat dan cocok untuk (a) memperkuat kedudukan pelayar-pelayar Indonesia agar mereka tidak mudah dipersulit oleh pelayar bangsa lain, (b) meningkatkan derajat pedagang-pedagang bangsa Indonesia, dan (c) menolong pengangguran bangsa Indonesia dan selanjutnya untuk menghidupkan semangat kebangsaan.
Pada 1 November 1935, bertempat di rumah Daeng Malewa, Ambenganweg No.11 Surabaya, didirikan perhimpunan koperasi Roepelin oleh lima anggota Parindra yaitu Nadjamoedin Daeng Malewa, R. Rooslan Wongsokoesoemo, G. Obus, M. Pamoedji, dan J.G. Tangkulung (BB, 1935). Baru pada 8 Juni 1936, Roepelin mendapat mengakuan dan subsidi dari pemerintah (PM, 1937).
Maksud dan tujuan Roepelin adalah (1) bekerja bersama-sama untuk mendapat muatan dengan upah yang sebaik-baiknya; (2) berupaya dengan jalan yang sah untuk mendapat keuntungan dari beban-beban pelayaran; (3) menyiarkan pengetahuan tentang pelayaran dan yang berhubungan dengan itu; (4) meningkat semangat anggotanya untuk menyimpan uang pada perserikatan; dan (5) menolong anggotanya memberi pinjaman dengan jalan yang mudah dan berarti pendidikan untuk menyampaikan maksud-maksudnya yang mendatangkan faedah (Daeng Malewa, 1937).
Anggota Roepelin adalah nakhoda perahu yang rutin mengunjungi pelabuhan Surabaya dan Makassar. Sebagain besar merupakan nakhoda perahu Bugis, Makassar, Buton, Mandar. Pada akhir 1937, anggotanya lebih dari 200 nakhoda. Namun, setelah Daeng Malewa diberhentikan dari Parindra awal 1939, maka jumlah anggotanya akhir tahun itu hanya tersisa 26 orang (22 nakhoda Madura dan 4 nakhoda Bugis).
Daeng Malewa kemudian menjadi konsultan di kantor perdagangan pemerintah di Batavia. Menjelang PD II, ia kembali ke Makassar dan mendirikan Partai Selebes Selatan pada April 1939. Tujuan partai ini antara lain mencapai Indonesia merdeka yang berbentuk federasi. Pada masa Jepang, ia diangkat menjadi wakil walikota dan kemudian Walikota Makassar.
Kendati ia tidak mendapat posisi penting saat proklamasi 1945, namun usahanya untuk memajukan pelayaran bumiputera tak surut. Atas prakarsa Daeng Malewa, pada 2 April 1946 dibentuk NV Maskapai Kapal Selebes Selatan (NV. MKSS). Tujuannya adalah (1) mengusahakan pelayaran pantai, (2) membuat, membeli dan menjual, menyewa dan menyewakan kapal-kapal bermotor, dan (3) menjalankan tindakan-tindakan lain yang mendukung dua tujuan pertama (NB, 1947).
Kapal pertamanya, MS. Latimojong, mulai berlayar pada 11 Juli dari Makassar ke Pulau Samalona dan pelabuhan Parepare. Dua kapal lainnya adalah Ms. Djeneberang dan Ms. Latimodjong. Kapasitas kapalnya antara 180-200 ton. Tahun berikutnya tambah 3 kapal lagi yaitu Ms. Belanta, Ms, Barombong, dan Ms. Sadang. Trayeknya meliputi seluruh pantai barat Sulawesi (Makassar – Donggala) dan jazirah tenggara Sulawesi (Makassar – Buton).
Kapal ini dilayarkan oleh pegawai berkebangsaan Indonesia. Direksinya 2 orang, terdiri atas orang Indonesia dan Belanda. Sementara Raad van Commisarissen 5 orang, yakni 3 orang Indonesia dan 2 Belanda. Lalu, 55% sahamnya dimiliki orang Indonesia (PN, 1949).
Atas semua usahanya, maka Daeng Malewa sepatutnya diapresiasi sebagai Bapak Pelayaran Indonesia. (*)