Oleh Aswar Hasan, Dosen di Fisip Unhas
Kota Makassar dan sekitarnya pada hari Senin (Tanggal 13 Februari 2023) dikepung oleh banjir, hingga menjadi laksana sungai di tengah kota yang selama ini digemborkan sebagai Kota Dunia. Sahabat saya Amiel Sadiq A. Pana yang pernah bersama berjuang di PII ( Pelajar Islam Indonesia) sampai menulis pesan di Group WA dengan menyatakan; “Sudah 50 tahun saya tinggal di Jl. Bulukunyi, baru kali ini masuk air ke dalam rumah sampai lutut.. Apa yang dialami Amiel juga tentunya dialami oleh sebagian besar warga kota Makassar.
Kediaman saya pun kemasukan air. Padahal lantai sudah saya tinggikan untuk menghindari banjir d an upaya saya tersebut sudah berhasil mengatasi banjir yang terjadi selama beberapa tahun belakangan ini. Namun, baru kali ini air masuk dan tanpa ampun mengkuyubkan buku-buku saya di lantai yang sudah saya tinggikan. Entah berapa ratus judul buku pilihan saya yang terendam. Saya sungguh sedih, karena yang terendam itu adalah buku pilihan yang baru saja saya paketkan dari Jakarta. Saya tak sempat menyelamatkannya, karena pada saat kejadian, sedang di Kuwait dalam rangka menghadiri invitation Duta Besar RI di Kuwait.
Kesedihan saya itu, sebagai orang yang suka membaca buku, tentu sangat berat, sebagaimana warga Makassar lainnya yang rumahnya ikut terendam bersama barang-barang kesayangannya. Saya hanya bisa pasrah dan ikhlas, ketika isteri saya berkata:
“Ikhlaskan, Ayah, karena nyawa pun akan melayang, kalau Allah menghendaki. Apalagi jika cuma barang-barang yang meski pun kita sayangi, Insya Allah akan digantikan dengan yang lebih baik. Bahwa semuanya dari Allah dan akhirnya kembali juga kepada Allah – Innalillahi wa Inna ilaihir raji’un. Begitulah ujian hidup. Allah mau melihat apakah kita masih bersandar kepada-Nya atas ujian-Nya.”
Karenanya jika ada bencana alam terjadi, sudah sepatutnya kita mengevaluasi diri. Apakah selama ini kita sudah benar-benar menjaga dan memelihara alam dengan baik. Jangan sampai kita menyalahkan alam itu sendiri, sebagaimana celoteh dan dalih sejumlah penguasa di sekitar kita.
Laode M Syarif Dosen lingkungan Unhas dan Komisioner KPK 2015-2019 menyatakan, bahwa pemicu banjir tersebut, lebih banyak disebabkan oleh kurangnya perhatian pemerintah, dunia usaha dan masyarakat, dibanding faktor alam yang sering dikambing hitamkan (fajar,20/2-2023). Selaras dengan Laode, M Syarif, Hasrullah, Kolumnis Fajar juga menulis di kolomnya dengan mengatakan, bahwa banjir yang kini menjadi momok bagi kota Makassar dan sering sekali saling lempar tanggung jawab yang membuat masyarakat bingung dan menjadi korban ketidakadilan yang dilakukan oleh para pemangku kebijakan. Lalu dengan menohok Hasrullah mengunci dengan bertanya, Makassar Kota Dunia? Mungkin lebih tepatnya Makassar Kota Banjir.
Dari pandangan kedua pakar tersebut, maka pantas dan wajar saja jika ada yang lantas menyalahkan Pemerintah, karena kelalaiannya dalam mengelola negara sebagai amanah.
Salah satu murid dan sahabat dekat Kiai Dahlan, Kiai Hadjid, mengutip pernyataan Kiai Ahmad Dahlan yang menyatakan; “Apabila pemimpin-pemimpin negara dan para ulama itu baik, maka baiklah alam; dan apabila pemimpin-pemimpin negara dan para ulama itu rusak, maka rusaklah alam dan negara (masyarakat dan negara).”
“Telah nampak kerusakan di darat dan di lautan disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS Ar Ruum:41).
Akhirnya kita pun harus menyadari, bahwa tidak ada satupun manusia di dunia ini yang benar-benar bebas dari masalah. Kita semua pasti diuji, sesuai porsinya masing-masing. Dan, disitulah letak keadilannya Allah. “Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu di kembalikan” (QS: Al-Anbiya: 35). Akhirnya, atas segala ujian yang telah kita alami, termasuk bencana banjir kemarin, kita Kembalikan kepada Allah SWT. Begitulah tuntunan keimanan kita. Wallahu A’lam Bishawwabe.