English English Indonesian Indonesian
oleh

Rektor Unhas Curhat UKT: Perguruan Tinggi di Persimpangan Jalan?

Tak bisa dipungkiri, Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Indonesia memang sedang masuk jebakan. Sebut saja “jebakan komersialisasi”. Jebakan “swastanisasi” PTN. Jebakan “cuanisme”. PTN terjebak di persimpangan jalan. Jalannya pun sempit, sumpek, dan nyaris buntu. 

Kampus pun berubah muka dari pencari ilmu pengetahuan menjadi pencari uang. Mau tak mau, suka tak suka. Kata pepatah, Maju kena, mundur kena. Suruh siapa masuk jebakan? Pada akhirnya, Pulang malu, tak pulang “buntu”. 

Privatisasi dan swastanisasi yang berujung komersialisasi PTN dengan menjadikannya semi swasta bagi yang berstatus BLU dan nyaris swasta penuh ala PTNBH, tak pelak lagi membuat biaya kuliah — lazim disebut Uang Kuliah Tunggal (UKT), meski dalam praktiknya tak selamanya tunggal— melambung tinggi. 

Sebagai kampus negeri berstatus setengah swasta dan hampir swasta, cara untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga Universitas akhirnya ditempuh dengan pelbagai cara. Cara paling mudah yang nampak di mata adalah menaikkan UKT, memperbanyak “jual kursi” melalui Jalur Non-Subsidi (JNS) alias jalur mandiri. Bahkan, boleh jadi ramainya pemberian gelar Doktor kehormatan hingga Profesor Kehormatan yang lagi hangat akhir – akhir ini ke pejabat, pengusaha, dan politisi, adalah cara kampus mendapatkan jalan ke sumber – sumber cuan (baca:pendanaan). 

Because there is no free lunch”, tak ada makan siang gratis (kecuali di syukuran wisuda sanak family dan teman angkatan tentunya). Boleh jadi, di balik tirai, “gelar” ditukar “cuan”. 

Otonomi Akademik dengan Pembiayaan Penuh

Spirit dasar pendidikan tinggi kita mestinya memang dilandasi oleh otonomi akademik. Namun, bukan berarti negara juga memberi otonomi ekonomik, yaitu lepas tangan dalam pembiayaan. Dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, negara wajib hadir menjamin keadilan dalam akses ke semua anak bangsa melalui kehadiran membiayai. Sepenuhnya. Jika tak mampu sepenuhnya, minimal biaya pendidikan mampu dijangkau oleh si miskin dan si yatim. Dasarnya itu. 

Asas keadilan untuk semua dan kualitas yang baik mesti jadi cita – cita. Tak boleh ada anak bangsa ini yang cerdas namun tak ada biaya lantas disingkirkan. Itu kekejaman sistemik namanya. Tak ada beda dengan sistem pendidikan kolonial yang diskriminatif dengan basis ras melalui praktik rasisme. Bedanya, sekarang diskriminatif dengan basis kelas, dengan praktik komersialisme. Itu saja. Sayangnya, kondisi itu berulang di bawah kuasa sesama bangsa sendiri. Artinya apa? Penjajahan di dunia pendidikan tetap ditiru dengan beda rupa saja. Praktiknya, sama saja,  diskriminatif, menyingkirkan akses bagi yang lemah. 

Olehnya, otonomi akademik itu penting. Kebebasan akademik dan kultur akademik apatah lagi. Ditambah lagi, negara wajib hadir dalam membiayai, agar kultur akademik, tak bergeser ke kultur ekonomik, “cuanisme”

Lepas landas dengan pembiayaan mandiri? 

Lantas, tak perlukah PTN diberikan hak untuk mandiri dari segi keuangan. Sebaiknya begitu, tak perlu. Pun, jika ada satu atau dua yang sudah dianggap sanggup, boleh dengan catatan benar – benar manajemen aset dan kerjasama riset sudah benar – benar matang. Itupun, negara tidak perlu lepas tangan. Negara tetap harus hadir dalam pembiayaan, pun jika kampus itu surplus pemasukan dari aset dan risetnya, itu hanya bonus saja. 

Dengan begitu, Universitas atau PTN yang seperti di atas dengan manajemen aset dan produktivitas riset yang baik, boleh lepas landas, namun negara tetap ikut di dalamnya. Bukannya lepas tangan. Kenapa? Sebabnya adalah itu prinsip dasar yang harus dijalankan: “ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa”. Karena, jika dilepas, potensi tergelincir ke dalam “swastanisasi” dan “privatisasi” menjadi terbuka. 

Jika sudah begitu, tujuan dasar Perguruan Tinggi bisa melenceng. Negara harus tetap dan terus hadir untuk mencegah itu terjadi, namun tidak juga hadir untuk mengekang dan membuat jalan PTN menjadi “buntu”. Apalagi, menjebaknya di persimpangan jalan yang sengaja dibikin sempit. 

Catatan Reflektif 

Tak bisa dipungkiri, PTN kita memang sedang “terjebak di persimpangan jalan”. Sayangnya, simpang jalan itu, ialah jalan yang sempit pula. Sehingga, sulit bergerak. Maju kena mundur kena. Pulang malu, tak pulang buntu. 

Jika demikian, segala yang bikin buntu jalan mesti disingkirkan. Revisi UU Sisdiknas No.20 tahun 2003 yang mewajibkan bentuk BHMN pada PTN hingga UU No.12 tahun 2012 yang membuka ruang komersialisasi lewat “otonomi” keuangan, mesti segera diperjuangkan untuk dilakukan. Pangkal masalahnya di situ. Negara “haram” hukumnya lepas tangan dalam pembiayaan Pendidikan Tinggi. Terlebih dengan membuka ruang komersialisasi yang bikin biaya kuliah semakin mahal tak terbeli. 

Belum lagi, tuntutan konstitusi mencerdaskan kehidupan bangsa wajib ditunaikan. Ditambah, kultur akademik mesti diwujudkan sebagai institusi yang diberi amanah. Namun, nyatanya sekarang yang diminta malah kultur ekonomik. Bagaimana PTN mampu “jual diri” agar tetap bisa berjalan, meski tertatih. Benar – benar Andi Lau — “antara dilema dan galau — dibuatnya”. 

Sebagai catatan reflektif dan masukan konstruktif, bagi PTN di Indonesia, untuk BLU dan PTN BH, jika tak mampu, “Jangan Tempuh Jalan Itu”. Apatahlagi, memang pada dasarnya jalan itu tidaklah bersesuain dengan spirit konstitusi untuk “Mencerdaskan kehidupan bangsa”. Yang ada barangkali malah, “Menghambat kecerdasan bangsa”. 

Sekali lagi, “Tempuhlah jalan konstitusi, bukan jalan itu”. Negara harus hadir, sepenuhnya. Bukan lari dari tanggungjawab, korbankan anak – anak bangsa demi potong anggaran buat “bayar utang” ke “rentenir global”. 

Pendidikan di negeri ini wajib hukumnya terjangkau untuk semua, mengedepankan kemampuan otak, bukan kemampuan uang. 

Semoga. 

Kita semua wajib memperjuangkannya. (*)

OLEH: Nasrullah ‘Ulla’ Mappatang, Alumni Universitas Hasanuddin /Dosen FIB Unmul, Samarinda. Saat ini menjadi Mahasiswa Doktoral Bidang Socio-Culture & Arts, University of Malaya. Juga aktif sebagai Anggota Kaukus Intelektual untuk Kebebasan Akademik (KIKA) Indonesia. 

News Feed