English English Indonesian Indonesian
oleh

Dilema Sistem Proporsional Terbuka

OLEH: Basti Tetteng, Dosen Psikologi Politik Unversitas Negeri Makassar

Penghujung 2022, muncul perdebatan hangat tentang usul perubahan sistem Pemilu legislatif (DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota) dari sistem proporsional terbuka menjadi sistem proporsional tertutup untuk diterapkan pada pemilu 2024.

Upaya perubahan sistem ini telah diajukan oleh anggota salah satu partai penguasa untuk diuji materi terhadap pasal 168 ayat 2 Undang-Undang (UU) Nomor 7 tahun 2017 terkait sistem proporsional terbuka di Mahkamah Konstitusi (MK).

Usul ini telah menjadi diskursus yang semakin menggema dan menimbulkan pro-kontra dari berbagai kalangan terutama dari para aktivis pemilu, ormas sosial keagamaan, partai politik dan akademisi. Partai politik yang bersuara lantang menyatakan penolakannya terhadap upaya perubahan sistem pemilu legislatif; dari sistem proporsional terbuka menjadi sistem proporsional tertutup adalah Partai Golkar, Partai Nasdem, Partai Gerindra), PKB, PKS, PAN, PPP dan Partai Demokrat.

Kedelapan partai politik tersebut tetap menghendaki sistem pemilu legislatif proporsional terbuka, dengan argumentasi bahwa sistem proporsional tertutup tidak ideal untuk diterapkan, bahkan dianggap merupakan bentuk kemunduran demokrasi (democratic regression) seperti yang pernah diulas Diamond (2020) atau democratic recession (Levitsky & Way, 2015).

Kemunduruan demokrasi seperti ini, bisa berdampak terjadinya model kekuasaan sentralistik pada partai, dan menafikan kerja-kerja keras kader partai dalam membina hubungan dengan konstituennya. Bagi kelompok pendukung, sistem proporsional tertutup bakal berdampak cukup besar bagi masyarakat dan demokrasi di Indonesia, bukan saja mengubah hal-hal teknis tetapi juga mempengaruhi suasana mental kebatinan dan cara kampanye partai politik.

Secara teknis konfigurasi internal penyusunan daftar calon legislatif di masing-masing partai politik akan berubah, proses pematangan, pendewasaan dan kompetisi para caleg menjadi terhenti, perilaku politik para politisi akan berubah menjadi lebih elitis, hubungan caleg dan konstituen yang terpelihara selama ini akan hancur berantakan.

Bagaimana dengan PDIP? Sebagai partai mayoritas di parlemen, PDIP justru setuju dengan perubahan sistem ini, bahkan PDIP adalah satu satunya partai politik yang ada parlemen berseberangan pandangan dengan banyak partai politik. Beberapa sumber menyebutkan PDIP adalah “aktor utama” di balik usul perubahan ini.

Usulan atas perubahan sistem pemilu legislatif proporsional terbuka menjadi sistem proporsional tertutup juga muncul dari ormas keagamaan terbesar, yakni Muhammadiyah. Persyarikatan Muhammadiyah pada Muktamar November 2022 di Solo telah mengusulkan perubahan sistem pemilu legislatif ini dengan pertimbangan untuk meniadakan politik uang, ekses politik identitas dan pembelahan masyarakat atau polarisasi politik. Sistem proporsional tertutup diyakini Muhammadiyah mampu memperkuat peran partai politik menyiapkan calon legislatif yang berkualitas, dan  mencegah mereka yang duduk menjadi anggota legislatif hanya bermodal popularitas dan kekuatan kapital.

Potensi konflik

Sistem proporsional terbuka merupakan sistem pemilihan yang telah diterapkan sejak pemilu 2004 hingga pemilu 2019 lalu. Sistem proporsional terbuka ini adalah sistem yang memberikan kebebasan kepada pemilih untuk memilih langsung (mencoblos) calon anggota legislatif yang diusung oleh partai politik peserta pemilu. Calon anggota Legislatif yang memperoleh suara terbanyak akan ditetapkan sebagai anggota legislatif DPR dan DPRD terpilih.

Sementara sistem pemilu proporsional tertutup adalah penentuan calon anggota legislatif terpilih bukan berdasarkan suara yang diperoleh oleh calon anggota legislatif melainkan atas dasar perolehan suara dari partai politik. Sistem Proporsional tertutup mulai diterapkan pada pemilu 1955, Seluruh Pemilu Orde Baru, dan Pemilu 1999. 

Dalam sistem proporsional tertutup, pemilih tidak dapat memilih langsung calon anggota legislatif, pemilih hanya dapat memilih (mencoblos) partai politik yang menjadi peserta pemilu. Jika suara partai politik memperoleh suara yang cukup untuk meloloskan calon anggota legislatifnya maka nomor urut 1 dan seterusnya akan menjadi calon legislatif terpilih.

Ada dua hal menarik yang patut di cermati dari dua perdebatan ini. Pertama; adalah secara normatif perdebatan antara setuju dan tidak setuju dengan perubahan sistem proporsional terbuka menjadi sistem proporsional tertutup masing-masing memiliki dasar argumentasi yang rasional, objektif dan memiliki kekurangan dan kelebihan setiap gagasan, sehingga menimbulkan dilema mana yang ideal untuk diterapkan.

Secara psikologis, dalam situasi dilema inilah yang berpotensi menimbulkan prasangka negatif, saling tuding/mencurigai adanya maksud tertentu (untuk menguntungkan atau merugikan salah satu pihak) pada salah satu kubu berbeda pandangan. Prasangka negatif pada akhirnya membentuk polarisasi kelompok kepentingan yang tajam dari apa yang disebut “ini kelompok kami” (ingroup favoritism) dan “di sana bukan bagian kelompok kami” (Baron, 2014).  

Kedua, adalah sikap antara mereka yang setuju dan tidak setuju begitu tajam, dan terkesan sulit dipertemukan bersetuju pada satu pilihan atau setidaknya mengambil jalan tengah di antara dua pilihan tersebut. Situasi ini pula dapati mengarah pada meningkatnya ketegangan dan konflik / benturan berkepanjangan yang wujud dalam bentuk sikap dan perilaku permusuhan /kebencian, memperlebar jarak secara sosial dan psikologis (avoidance), perilaku diskriminasi dan bahkan tindakan kekerasan (Gross, 2013)). Bila ini yang terjadi maka tentu akan dapat mengganggu proses pelaksanaan pemilu serentak 2024. 

Kita berharap perdebatan ini tidak menjadi kontra produktif dengan upaya mendorong penguatan demokrasi elektoral, dan memutar pendulum demokrasi; kembali ke 15 tahun yang lalu. Idealnya ada konsolidasi demokrasi yang merambah wacana baru seperti demokrasi digital atau pelembagaan demokrasi. Fraksi -fraksi non PDIP, mesti mempersiapkan diri untuk sebuah sikap politik yang lebih tegas jika betul-betul MK mengabulkan permohonan Judicial Review.

Semoga MK segera menguji materi pasal 168 ayat 2 Undang Undang (UU) Nomor 7 tahun 2017 tentang pemilu ini apakah bertentangan dengan konstitusi atau tidak, agar ada ketidakpastian di tengah masyarakat mana yang berlaku pada pemilu 2024, dan di bila anggap bertentangan tentu dikembalikan kepada pembuat UU (DPR).   Kepastian ini diperlukan agar tidak semakin menimbulkan perdebatan dan ketegangan yang mengarah pada konflik terbuka. Semoga. Fastabiqul khairat. (*)

News Feed