OLEH: Muhammad Asdar, Akademisi, Komunikasi & Kebijakan Publik serta pemerhati Sosial Politik
Pemilu 2024 adalah panggung kontestasi elite intelektual versus elite politik yang bermukim di enam kabupaten/kota Provinsi Sulawesi Barat yakni Polman, Mamasa, Majene, Mamuju, Mamuju Tengah, dan Pasangkayu. Namun, perlahan menyusul elite intelektual merangsek masuk menawarkan solusi
pergantian aktor politik yang berkuasa dalam struktur pemerintahan daerah saat ini.
Pergantian aktor politik adalah peristiwa biasa dalam kajian ilmu politik. Sebab, salah satu inti dari kajian
ilmu ini adalah sirkulasi elite dalam pengertian bagaimana meraih kekuasaan politik (Roskin, 2016). Meskipun diksi sirkulasi elite sangat penting dalam kajian ilmu politik, tetapi tidak familiar digunakan dalam perbincangan pilkada langsung. Padahal pilkada langsung merupakan bagian penting dari proses sirkulasi elite politik.
Sejak berdiri 5 Oktober 2004 dan memisahkan diri dari induknya Sulsel, Sulbar telah memiliki pergantian pemimpin sebanyak dua kali, hal ini membuktikan bahwa irisan pertarungan sesungguhnya akan terjadi pada pemilu 2024 mendatang. Selepas Anwar Adnan Saleh dan Ali Baal Masdar, muncul nama-nama baru dan sering diperbincangkan seperti sang incumbent Ali Baal Masdar, Prof Husain Syam, KH Syibli Sahabuddin, Mayjen (Purn) Salim S Mengga, Andi Ibrahim Masdar, Enny Anggraeni Anwar, Suhardi Duka, Agus Ambo Djiwa, Aras Tammauni, Kalma Katta, Ramlan Badawi, Irwan Satyaputra Pababari, Hendra Sikkarru hingga Iskandar Muda Baharudin Lopa.
Hal itu tercermin dari munculnya desakan dari aktor baru terhadap oligarki untuk melihat dan memaksa Sulbar dapat disejajarkan dengan provinsi lain yang seumuran bahkan lebih muda dari Sulbar namun lebih sedikit “maju” meninggalkan kawannya. Inti pesannya adalah “konekting dan digitalisasi politik”. Konekting politik diperlukan bagi pemimpin daerah untuk memperjuangkan pembangunan dan membuka ruang investasi sedangkan digitalisasi politik sebagai alat kepentingan dan sangat menentukan konstelasi politik. Hampir 60 persen kaum milenial (generasi Z) atau Gen-Z menjadi pemilih pemula pada Pemilu 2024 mendatang.
Mengapa demikian? Apakah tidak mampu mewakilkan harapan pada pemimpin masa lalu dan sekarang? Atau masyarakat sudah jenuh dan menginginkan datangnya pemimpin baru?
Jawabannya bisa iya dan tidak, karena sirkulasi elite politik dalam buku Drukcer bahwa pemimpin adalah individu yang make things happen (Ia adalah yang membuat sesuatu menjadi sesuatu itu sendiri) bahkan bersuara bahwa saatnya perubahan tidak pernah mati, yang kalah adalah ketidakmampuan menokohkan “diri dan keinginan” masyarakat Sulawesi Barat sesungguhnya.
Data IPM Sulawesi Barat berada pada 66,92 (BPS 2022). Itu menandakan adanya peningkatan namun belum berbanding lurus dengan peningkatan kemakmuran, kesejahteraan, kesehatan hingga pendidikan di wilayah “litaq pembolongan”.
Sirkulasi multi elite di daerah sesungguhnya telah bergerak sunyi senyap yang konon bergerak sampai ke akar rumput (grassroots), middle, hingga top leader. Namun ternyata belum cukup dijewantahkan karena pertarungan sesungguhnya bila mampu membuat “kejutan sosial” dari tokoh dan pendatang baru dalam meraih simpati untuk memimpin masyarakat Sulbar kedepan.
Siapakah dia? Kita lihat saja nantinya karena kehidupan demokrasi sedang berjalan dengan cara dan metode berbeda dari calon kontestan lama dan baru. Namun jelas tujuannya sama “meraih simpati” masyarakat mandar dan etnis lainnya melalui ketokohan, modal sosial, kapasitas dan kapabilitas.
Sekarang kita menunggu para elite integratif diwakili oleh pemimpin politik dan elite sublimat diwakili oleh intelektual, agamawan, budayawan, pelaku seni yang sesungguhnya menurut pendapat (Keller, 1995) sebagai minoritas-minoritas yang efektif dan bertanggung jawab melihat keberlangsungan kehidupan masyarakat Sulawesi Barat sesungguhnya.
Kaum elite intelektual hadir dalam menjawab fenomena Indonesia masa kini melalui program perluasan pencerdasan, idealisme intelegensia, menumbuhkan profesionalisme pengabdian. Menutup frase ini masyarakat hendak memilih “harapan” dan bukannya “kenyataan” atas pilihan politik sebelumnya dan berkaca pada Pemilu 2024 mendatang. (*)