English English Indonesian Indonesian
oleh

Badai Melanda KPU

OLEH: Fajlurrahman Jurdi, Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

Jika ada memang ada “manusia setengah dewa”, maka penyelenggara Pemilu seharusnya adalah “manusia setengah dewa” itu.

 Mereka adalah jantungnya demokrasi, yang mengatur sirkulasi, bahwa pergantian kekuasaan berjalan secara fair dan adil. Khidmat kekuasaan itu adalah rakyat, mereka kemudian diberi label sebagai pemimpin bagi rakyat.

Di dalam demokrasi, ada kalimat tua yang tak pernah usang diucapkan, “vox populi vox dei”, suara rakyat adalah suara Tuhan. Suara Tuhan menjelma di dalam suara rakyat, karena itu, mereka yang mengatur suara rakyat ini, haruslah orang-orang yang bersih, jujur dan taat pada prinsip-prinsip demokrasi.

Meskipun mengelola Pemilu bersifat teknis, tetapi prinsip-prinsip substansial di dalam Pemilu bersifat transenden. Ia menawarkan “sensasi” metafisis, merentangkan tangan Tuhan di dalam proses dan hasilnya. Transendentalisme Pemilu membuat setiap orang yang terlibat memegang tanggung jawab ganda. Ia menanggung beban etik dan hukum “dunia sini” dan memegang beban hisab “dunia sana” (akhirat).

Dalam konteks ini, secara prosedural ada mekanisme normatif sebagai peta jalan subyek penyelenggara Pemilu saat mereka mengambil keputusan dan tindakan yang berkaitan dengan fungsi, tugas, dan wewenangnya. Peta jalan inilah yang disebut sebagai kode etik.

Kerangka etik adalah upaya mematerialialkan meta-norma dan meta-nilai. Apa yang transenden dalam demokrasi, dikonstruksi sedemikian rupa dalam kode etik, sehingga setiap perilaku penyelenggara Pemilu dijaga ketat dan diawasi ketat oleh kode etik itu. Sejatinya kode etik tersebut bukan hanya tentang akuntabilitas “dunia sini” tetapi juga akuntabilitas “dunia sana”.

Prahara KPU

Apa yang menimpa KPU belakangan ini, adalah celah masuknya beban etik dan beban politik bagi penyelenggara Pemilu. Publik sedang dilanda rasa khawatir, bahwa tiap tahapan Pemilu akan melembagakan kejahatan secara terencana, terstruktur, massif dan tentu dekonstruktif. Tahap pembukanya sedang dimulai, sementara tahap akhirnya nanti adalah penetapan hasil Pemilu.

Jika di tahap pembuka ini ada gegap gempita dan keributan tentang konsolidasi kejahatan Pemilu yang dilakukan oleh oknum maupun lembaga, maka ada “cedera” fatal yang cukup meresahkan publik. Cedera itu bisa merusak proses Pemilu dan tahapan yang akan dilaluinya, sehingga akan tumbuh berkembang distrust terhadap proses Pemilu di setiap tahapan.

Tentu saja apa yang berkembang belakangan ini adalah dugaan, yakni dugaan gratifikasi sex yang melanda ketua KPU dan dugaan meloloskan sejumlah partai politik sebagai peserta Pemilu dengan memanipulasi berita acara verifikasi faktual. Meskipun dugaan ini belum dapat dibuktikan, tetapi pengakuan sebagian besar pihak juga patut dijadikan sebagai bahan renungan, bahwa ini bukan soal sederhana, tetapi dua peristiwa pembuka dalam tahapan pemilu ini cukup membahayakan demokrasi.

Perbuatan, entah oknum atau lembaga penyelenggara Pemilu yang mengancam prinsip dasar demokrasi ini harus menjadi fokus perhatian semua pihak. Jika benar, maka semua elemen harus memelihat ini sebagai buruk rupa praktik demokrasi kita yang dilakukan oleh penyelenggara Pemilu. Dan KPU harus bisa menjelaskan kepada publik tentang apa yang terjadi.

Meskipun demikian, kita juga mesti hati-hati untuk melihat dan menjatuhkan vonis tentang situasi ini, sebab belum ada putusan yang secara formil menyingkap siapa yang salah atas dua “tragedi” yang tak diinginkan ini.

Sejumlah langkah perlu dilakukan guna memastikan, bahwa badai yang melanda KPU benar terjadi atau hanya sekedar gosip sebagai penyedap proses pemilu.

Pertama, penyelenggara Pemilu harus membuka diri dan menjelaskan tentang apa yang terjadi secara terang benderang. Agar publik menaruh rasa percaya dan menghilangkan syak wasangka kepada penyelenggara Pemilu. Dengan sikap terbuka, jujur dan fair, maka kepercayaan publik akan kembali kepada KPU.

Kedua, Pengadilan etik oleh DKPP harus dijalankan, bila benar ada perbuatan yang melanggar kode etik. Dengan komitmen menjaga kode etik, maka pemilu bisa terus terjaga marwahnya. Dan marwah Pemilu itu adalah saat etika penyelenggara terus terjaga dari prinsip-prinsip nir-moral.

Ketiga, Bahkan jika ada pemalsuan dokumen, maka perlu dilakukan upaya hukum yang serius, dan memasukkannya sebagai bagian dari tindak pidana. Dalam hal ini, dugaan pemalsuan berita acara verifikasi faktual partai politik  dapat dijadikan celah untuk memeriksa aspek tindak pidananya.

Keempat, KPU harus tetap solid, dalam hal ini soliditas itu dilakukan untuk tetap menjaga lembaga ini dari dalam. Jika ada oknum yang melanggar hukum dan kode etik, maka serahkan secara fair dan adil proses etik dan hukumnya.

Pada akhirnya, KPU akan survival melewati badai ini jika berhasil membersihkan diri dari anasir-anasir dan perbuatan yang melanggar hukum dan kode etik.

Wallahu a’lam bishowab

News Feed