Dosa (dari bahasa Sanskerta), dalam konteks agama berarti tindakan atau perbuatan yang melanggar aturan yang ditetapkan Tuhan. Aturan Tuhan termaktub di dalam kitab suci. Melanggar yang diharamkan oleh Tuhan sebagai yang termaktub di dalam kitab suci merupakan dosa. Perbuatan aniaya atau zalim, mencuri, mengambil bukan haknya, memaksa dan mencelakakan orang lain, membungkam kemerdekaan seseorang, dan banyak lagi yang lain, yang dilarang oleh Tuhan di dalam kitab suci-Nya, semuanya itu adalah dosa. Ternyata dosa itu membawa akibat buruk bagi manusia dan kehidupannya.
Secara universal dikenal adanya hak asasi manusia (HAM). HAM adalah hak dasar yang dimiliki oleh setiap manusia sejak lahir, berlaku kapan saja, di mana saja, dan kepada siapa saja. HAM bukan pemberian seseorang. Bukan pula pemberian negara. Setiap manusia wajib menghormatinya dan negara wajib melindungi dan membelanya. Hanya saja bisa terjadi HAM dilanggar, baik oleh seseorang maupun negara. Dalam hal pelanggaran HAM, negara wajib memberi sanksi bagi pelanggar. Tentu menjadi repot kalau negara terlibat dalam pelanggaran HAM itu. Demikian sulit menyelesaikan pelanggaran HAM, sehingga berganti-ganti rezim memerintah, pelanggaran HAM tak juga bisa diselesaikan. Dalam hal yang demikian, penyelesaian HAM yang tak kunjung diselesaikan menjadi “dosa warisan” bagi rezim pemerintah yang datang lebih kemudian, meskipun rezim itu tidak terlibat dalam pelanggaran HAM masa lalu itu.
Penyelesaian pelanggaran masa lalu terkendala juga oleh berlalunya waktu yang panjang yang sudah dilaluinya dan pergantian rezim-rezim hingga ke rezim yang sudah amat jauh dari masa saat pelanggaran HAM terjadi.
Pemerintah sudah membentuk Tim KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi) misalnya, dan sudah melaporkan hasil kerjanya. Namun mungkin saja ada yang menilai belum menghasilkan rekonsiliasi yang melegakan. Pelaku dan orang yang terlibat dalam kasus pelanggaran itu sudah banyak yang telah meninggal, termasuk yang meninggal/korban ketika kasus itu terjadi.
Kalau tak keliru, pernah ada pikiran oleh beberapa tokoh, termasuk Cak Nur, agar ditempuh semacam penyelesaian dalam bentuk “pemaafan” atas pelanggaran masa lalu yang sudah “kedaluwarsa” itu. Rezim yang mewarisi “dosa” masa lampau itu, sudah amat jauh dari peristiwa sejarah (pelanggaran) itu. Sementara aktivis pada setiap zaman dan rezim selalu menyegarkan ingatan orang ke pelanggaran HAM itu dengan tuntutan tak jauh bedanya dengan tuntutan pada masa pelanggaran itu terjadi. Tidak ada jalan tengah apalagi pemaafan.
Pasti sangat menyulitkan suatu upaya rekonsiliasi kalau pikiran sempit politis (pikiran politik sempit) menunggangi “dosa warisan” itu. Tekad untuk menyelesaikannya harus disertai ketulusan sejernih-jernihnya dari semua pihak dari segenap warga bangsa. Itu bisa dimulai dengan menumbuhkan sifat dan semangat memaafkan. Kata “maaf” bisa berlawanan dengan kata “benci” dan “dendam”. Bangsa yang diliputi oleh rasa benci dan dendam, akan sulit untuk melangkah ke depan. Kebencian dan kedendaman membuatnya tersandung-sandung. Dalam konteks agama, “meredakan amarah dan memberi maaf” adalah bagian dari ketakwaan!