Melaut merupakan profesi satu-satunya suku Bajo. Suku inilah yang sepantasnya menjadi representasi manusia dan laut.
Saenal Masri
Bone
SANGAT wajar, kehidupan suku Bajo menginspirasi sang sutradara, James Cameron, mengangkatnya dalam film “Avatar: The Way of Water”. Dalam film itu, suku Bajo “dimodifikasi” menjadi suku Metkayina.
Ada perasaan bangga dari suku Bajo atas diangkatnya kehidupan mereka ke layar lebar. Dalam sejarah perjalanan peradaban mereka, laut tak bisa dipisahkan dengan suku Bajo. Mereka telah menyatu sejak nenek moyang.
Di Bone, suku Bajo juga membangun peradaban pesisir. Tepatnya di kawasan Bajoe. Bukti bahwa mereka tak bisa hidup di kota, suku ini hanya menempati pesisir Teluk Bone untuk mengonstruksi kehidupan sosial dan budaya.
Di Bajoe, memang terlihat bahwa tidak ada ciri khusus untuk rumah yang dibangun di perkampungan itu. Bentuk rumah sama dengan milik masyarakat Bugis, bedanya hanya rumah tesebut tiangnya ditanam ke tanah sehingga terlihat agak pendek.
Tidak ada ketetapan berapa jumlah anak tangga yang digunakan. Tetapi kebanyakan yang dijumpai di perkampungan suku Bajo, rumah masyarakat menggunakan tujuh anak tangga.
“Kita buat rumah dari kayu biasa, dulu kita itu dinding rumahnya hanya pakai daun nipah. Sekarang sudah pakai papan, begitupun dengan alas rumah dulu pakai bambu, sekarang sudah menggunakan papan,” papar Deri, Pemangku Adat Suku Bajo di Bone, saat menerima FAJAR, pekan lalu.
Ada ideologi leluhur yang masih mereka jaga erat. Rumah masyarakat suku Bajo harus menghadap ke timur semua. Tentu ada alasannya. Mata pencaharian masyarakat suku Bajo berasal dari laut. Di Bajoe, laut berada di bagian timur perkampungan suku Bajo.
Masyarakat suku Bajo sangat menggantungkan penghasilan dari hasil melaut. Tak heran, kala suku Bajo merantau, mereka tidak bisa sukses di perantauan jika tinggal di kota. Mereka harus menjadi pelaut, sebagai kehidupan turun temurun.
“Sejauh ini belum pernah ada masyarakat suku Bajo asli menjadi pegawai negeri. Ada pernah mau diangakat jadi polisi, guru, dan tentara, tetapi orang tuanya tidak mau,” terangnya.
Untuk kehidupan sehari-hari, suku Bajo telah berbaur dengan masyarakat Bugis. Pakaian yang digunakan pun sama dengan masyarakat pada umumnya. Namun, mereka punya bahasa sendiri. Bahasa itu yang digunakan oleh masyarakat suku Bajo asli di semua wilayah.
Untuk anak-anak generasi belakang, sebagian tidak tahu lagi, bahkan mereka lebih masif menggunakan bahasa Bugis. Penyebabnya, bahasa Bajo asli sangat susah dipelajari. Satu kata dalam bahasa Bajo, punya tiga arti.
“Kalau acara adat ada pakaian khusus dipakai, (ada) dua jenis. Satu warna kuning yang dipakai ketika pagi hari dan warna jingga digunakan menjelang malam. Baju itu umurnya sudah sekitar 200 tahun,” tuturnya.
Berbicara adat dan tradisi yang terjaga hingga saat ini, salah satunya bisa terlihat pada resepsi pernikahan. Keturunan asli Bajo memiliki tradisi menaikkan bendera merah putih dan ula-ula (bendera yang menyerupai bentuk orang).
Kedua bendera itu digunakan sebagai penanda bahwa suku Bajo yang punya acara. Kalau bukan keturunan asli Bajo, tidak bisa memakai bendera ula-ula.
“Kalau ibarat suku Bugis itu Arung. Dan kalau masyarakat suku bajo punya marga Lolo, sama dengan marga Andi pada Bugis. Kalau kita pakai kata Lolo ketika menyapa, itu sama kalau kita pakai Puang dalam bahasa Bugis,” bebernya.
Limpa Kuat
Riset menunjukkan, limpa suku Bajo lebih besar dua kali lipat dibandingkan manusia pada umumnya. Hal ini pula yang membuat nenek moyang mereka bisa menyelam lebih lama tanpa alat, dengan hanya sekali tarikan napas di permukaan.
Deri mengakui, masyarakat asli suku Bajo sangat kuat menahan napas ketika menyelam. Bahkan kedalamannya bisa mencapai puluhan meter dan bisa bertahan lama di dalam air.
Hal itulah yang menjadi inspirasi yang diangkat dalam film kedua sesi “Avatar”. Awal film “Avatar: The Way of Water” rilis, suku Bajo di Bone sama sekali tidak mengetahuinya. Belakangan baru mereka dapat informasi, tatkala filmnya telah tayang di bioskop.
Deri mengaku bahagia keseharian mereka difilmkan. Karena secara tidak langsung suku Bajo akan lebih dikenal lagi hingga luar negeri. “Kita berharap sebenarnya semua kesenian kita bisa difilmkan, karena itu sangat khas dan hanya dimiliki oleh kami, tetapi sayang tidak terlalu diperhatikan,” harapnya.
Bahkan tidak main-main sambil tersenyum ia menunjukkan piagam penghargaan dari hasil buah tangan dan kesebarannya melatih anak-anak di Bone untuk memperagakan tarian atau gerakan yang dinamai Kondo Bule.
Pementasan kesenian itu berhasil meraih nomor satu pada temu karya 24 koreografer dan Festival To Berru di Barru pada 2018. Ia mengatakan ada kekhasan tersendiri dari kesenian Suku Bajo. Penampil tidak boleh diperankan oleh orang selain asli suku Bajo, karena pasti ada hal tak terduga yang menganggu.
“Kita berharap ada penerus kita dalam merawat dan mempertahankan adat dan budaya ini. Makanya kita harus melatih anak cucu kita agar budaya dan kebiasaan di adat kita di suku Bajo tidak hilang,” harap Deri.
Avatar: The Way of Water yang rilis pada 14 Desember 2022 di pasar Indonesia tercatat mendulang pendapatan kotor yang lebih tinggi berkali-kali lipat jika dibandingkan dengan pendapatan film Avatar sesi pertama yang rilis pada 2009. (sae/zuk)