OLEH: Arief Rosyid Hasan, Ketum PB HMI 2013-2015, Direktur Eksekutif Merial Institute
Sekitar dua tahun lalu, di salah satu koran di kota ini, penulis pernah memuat opini tentang “Indeks Pembangunan Pemuda Sulsel”. Singkatnya, penulis menyampaikan sejak tahun 2018, Indonesia sudah memiliki Indeks Pembangunan Pemuda (IPP). Indeks ini digunakan untuk mengukur sejauh mana kemajuan pembangunan kepemudaan di tingkat nasional hingga di daerah seperti Sulawesi Selatan (Sulsel), sehingga kita dapat menilai keberpihakan pemerintah terhadap generasi mudanya.
Lima domain mengukur IPP bersumber dari Susenas dan Sakernas, yaitu pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan, lapangan dan kesempatan kerja, partisipasi dan kepemimpinan, serta gender dan diskriminasi. Masing-masing domain diukur melalui dua hingga empat indikator dari total 15 indikator yang digunakan. Hasilnya pada nilai IPP antarprovinsi 2019-2020, IPP Sulsel merupakan provinsi yang capaiannya paling jauh dari ekspektasi, mengalami penurunan terbesar yaitu -6,44 persen (jauh dari ekspektasi pertumbuhan sebesar 0 persen) dibandingkan provinsi yang lain. Situasi ini menggambarkan tidak optimalnya pembangunan pemuda di Sulsel.
Secara lebih rinci, IPP Sulsel mengalami penurunan angka dari 52,00 di IPP 2019 menjadi 48,67 di IPP 2020. Penurunan terjadi pada tiga domain, yaitu kesehatan dan kesejahteraan (5 poin), domain lapangan dan kesempatan kerja (5 poin), serta domain gender dan diskriminasi (6,67 poin), sedangkan domain pendidikan serta domain partisipasi dan kepemimpinan mengalami stagnasi atau jalan di tempat. Hanya domain pendidikan yang berada di atas angka nasional, domain kesehatan dan kesejahteraan serta domain gender dan diskriminasi nilainya sama angka nasional, dan domain lapangan dan kesempatan kerja serta domain partisipasi dan kepemimpinan di bawah angka nasional.
Data-data yang penulis peroleh dari IPP 2021 ini menyisakan banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh tidak hanya pemerintah, juga tentu semua pihak, utamanya teman-teman yang hari ini masih sebagai kategori pemuda di Sulsel. Beragam organisasi dengan banyak latar belakang, organisasi kepemudaan atau kemahasiswaan seperti KNPI, Cipayung Plus (HMI, PMII, GMNI, IMM, KAMMI, KMHDI, PMKRI, GMKI, Hikmahbudhi), Badan Eksekutif Mahasiswa, Organisasi Kedaerahan (HIPMA Gowa, IPMIL Luwu, Kepmi Bone), juga berbagai komunitas influencer hingga Ikatan Dara-Daeng Sulsel.
Gotong Royong Pemuda
Penduduk Sulsel jumlahnya 9,07 juta jiwa, 30,84 persen merupakan generasi Z yang lahir 1997-2012. Sementara itu, 24,31 persen adalah generasi milenial yang lahir 1980-1995, dan 11,13 persen adalah post gen Z yang lahir setelah tahun 2013. Artinya 66,28 persen atau sekitar 6 juta jiwa penduduk Sulsel adalah mereka yang berusia muda dan akan menjadi muda. Ini adalah modal besar untuk kejayaan Sulsel di masa depan.
Dari data yang sudah kita peroleh sebelumnya di IPP 2021, kita bisa menentukan titik berangkat untuk memulai gotong royong mengungkit IPP Sulsel. Gotong royong ini berarti melibatkan berbagai unsur dalam pentahelix seperti pemerintah, pengusaha, akademisi, media atau jurnalis, dan kelompok masyarakat atau organisasi yang sudah disebutkan sebelumnya. Misalnya domain lapangan dan kesempatan kerja serta domain partisipasi dan kepemimpinan yang angkanya masih di bawah angka nasional.
Masalahnya yang tergambar dari data, rendahnya pemuda wirausaha kerah putih yang kurang dari setengah capaian nasional, juga capaian indikator pemuda perempuan yang bekerja di sektor formal lebih rendah dari capaian nasional. Beberapa aktivitas yang pernah kami lakukan adalah mendorong aktivis untuk membuat semacam Koperasi Badan Usaha Milik Pemuda, sebagai kelanjutan dari program Talenta Wirausaha BSI. Selain itu, mendorong kolaborasi dengan Dispora Makassar untuk program Festival Generasi yang menghadirkan berbagai narasumber lokal dan nasional untuk mendorong produktifitas pemuda.
Selain itu, Sulsel juga perlu fokus pada domain partisipasi dan kepemimpinan yang capaian ketiga indikator pembentuknya masih di bawah rata-rata nasional. Misalnya, indikator persentase pemuda yang aktif dalam organisasi dan persentase pemuda yang memberikan saran/pendapat dalam rapat. Dua hal ini menggambarkan situasi yang tidak terhubung atau tidak terorkestrasi dengan baik antara inisiatif pemerintah dengan gerakan yang di inisiasi oleh berbagai kelompok anak muda. Sepanjang pengalaman penulis ketika masih mahasiswa di Sulsel, sangat banyak inisiatif mulai dari advokasi kebijakan hingga pendampingan atau pemberdayaan masyarakat.
Yang juga menyisakan persoalan serius adalah indikator angka remaja hamil yang mencapai 24,94 persen atau berada di atas angka nasional 18,22 persen, melonjak dua kali lipat dari tahun sebelumnya. Dalam beberapa kali kesempatan diskusi dengan teman-teman Genre atau Generasi Berencana oleh BKKBN, kita dihadapkan pada arus informasi dan hubungan yang demikian bebas, belum lagi masalah ekonomi yang dihadapi oleh keluarga sehingga mendorong untuk segera menikahkan anaknya.
Akhirnya, melalui IPP Sulsel kita dapat mengungkit kemajuan pembangunan pemuda secara terukur di tingkat daerah sebagai modal kemajuan pembangunan pemuda di tingkat nasional. Pembangunan pemuda yang bersifat cross cutting dan kompleks memerlukan kebesaran hati dan kelapangan jiwa untuk gotong royong semua pihak. Meminjam apa yang disampaiakn dalam Pidato Presiden Joko Widodo pada tahun 2019 di depan sidang MPR RI, ia mengungkapkan, “Momentumnya adalah sekarang, tatkala kita antara 2020 hingga 2024, tatkala kita berada di puncak periode bonus demografi. Jika kita lebih fokus mengembangkan kualitas SDM dan menggunakan cara-cara baru, maka saya yakin bonus demografi menjadi bonus lompatan kemajuan.” (*)