Pekan lalu kita merayakan Hari Ibu. Sepertinya tak ada kegiatan yang luar biasa gaungnya. Mungkin karena tak ada yang bisa dikaitkan dengan ‘kekuasaan’ dan atmosfer politik yang sedang menghangat. Apalagi — tokoh perempuan, tokoh Ibu tak ada satupun yang menjadi unggulan utama dari lembaga survei untuk kepemimpinan nasional mendatang. Di lapangan upacara — hanya dibacakan riwayat sampai ditetapkannya hari Ibu. Satu atau dua karyawan kemudian tampil menyanyikan lagu yang mengisahkan kemuliaan seorang Ibu. Ironisnya — di layar kaca seperti tak ada habisnya dibahas ‘keburukan’ seorang Ibu yang kebetulan menjadi terdakwa kasus pembunuhan. Dibongkar habis dugaan aibnya — mungkin saja semuanya benar. Tapi mengapa tanpa tenggang rasa sedikitpun? Bukankah semua agama melarang membuka aib seseorang dengan semena-mena. Padahal dalam kamus kita — ada satu kosa kata: empati. Ber-empati.
**
Kita semua memahami kemuliaan seorang Ibu. Kita selalu mengenang Ibu kita semua. Wanita terbaik dalam perjalanan masa kecil kita hingga kita tumbuh dewasa dan akhirnya memiliki keluarga masing-masing. Namun, Ibu tetap menjadi salah satu bagian terpenting dari hidup kita sampai beliau harus memenuhi panggilan penciptaNya. Sekitar satu-dua bulanan, sebagai PNS yang lagi bertugas di Jakarta — setiap Kamis hingga Minggu — di Agustus-September 2014 — saya harus terbang pulang bersama istri untuk mengikuti perawatan Ibu di RSP Unhas Makassar. Mendoakan dan berharap kesembuhannya bersama seluruh saudara dan handai tolan. Hingga Allah SWT. memanggilnya di suatu pagi hari Minggu yang tenang. Dilepaskan doa oleh anak dan cucunya. Sebuah potongan bagian kehidupan saya yang amat terasa hampa — karena melesatkan begitu banyaknya kenangan bersamanya. Ada tangisan dan air mata tapi lebih banyak tak bisa lepas karena tersekat di dalam rindu dan hati yang sepi.
**
Tak banyak yang dikisahkan tentang seorang Ibu yang dimuliakan karena pribadinya sendiri dan keberadaan puteranya. Dia adalah Siti Aminah binti Wahab — Ibunda dari Nabi besar Muhammad SAW —anutan umat manusia. Dalam buku Sejarah Terlengkap Nabi Muhammad SAW oleh Abdurrahman bin Abdul Karim (2016), dijelaskan bahwa tidak ada keterangan soal kelahiran beliau. Namun ada catatan yang menuliskan bahwa Siti Aminah wafat pada tahun 577 M yakni ketika beliau mengajak putranya, Nabi Muhammad SAW untuk mengunjungi pamannya dan melihat kuburan ayahnya di Yastrib.
Siti Aminah lahir di Makkah dan merupakan anak dari pemimpin Bani Zuhrah yakni Wahab bin Abdul Manaf bin Zuhrah bin Kilab. Ibu dari Siti Aminah adalah Barrah binti Abdul Uzza bin Utsman bin Abduddar bin Qushay.
Mengutip buku Mengais Berkah di Bumi Sang Rasul oleh Ahmad Hawassy (2020), dituturkan bahwa Siti Aminah mempunyai berbagai sifat mulia yakni ketakwaan, tutur kata yang baik, sikap santun, dan juga berjiwa sosial seperti ayahnya.
Ketika akan menikahkan putranya, Abdul Muthalib berkata kepada Abdullah, “Puteraku! Aminah adalah seorang gadis yang baik, masih dari kerabat kita sendiri dan tidak ada sepertinya di kota Makkah ini. Aku bersumpah demi keagungan dan kemuliaanNya bahwa di Kota Makkah ini tidak ada gadis yang menyamainya, karena ia menjaga harga diri dan kehormatan, berakhlak mulia, berjiwa suci, cerdas, dan taat.” Selain itu, Siti Aminah dikenal sebagai sosok yang hidup sederhana dan jauh dari gemerlap dunia. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Aku adalah putra seorang perempuan Quraisy yang memakan daging kering.”
Perjalanan kehidupan telah memberikan berbagai contoh kemuliaan, kebaikan dan harkat keibuan yang selalu meneduhkan kita semua. Bahwa ada pengecualian untuk satu – dua tragedi, namun tidaklah mengurangi penghormatan kita kepada para Ibu. **