Kekerasan sering kali identik dengan dunia laki-laki, sedangkan kelembutan adalah dunia perempuan. Pertarungan dalam dunia olah raga seperti boxin adalah dunia laki-laki. Adapun penampilan gemulai seperti senam atau menari adalah milik perempuan. Ketika kekerasan hidup bersama dengan kelembutan acapkali kekerasan mendominasi dan menguasai kelembutan. Itulah gambaran dunia laki-laki ketika menguasai dunia perempuan. Mereka seringkali berubah liar, tidak terkontrol bahkan menganiaya. Jika memiliki pandangan Aristoteles yang menyebutkan bahwa laki-laki sebagai makhluk sempurna yang diciptakan untuk menjalani kehidupan di ranah privat dan ranah publik. Sementara itu, perempuan sebagai makhluk tidak sempurna yang memiliki banyak kecacatan baik secara biologis maupun psikis. Ini menandakan bahwa sedari dahulu perempuan diperlakukan dengan tidak layak dan tidak adil.
Catatan sejarah kelam perempuan menjadi saksi atas nama si kuat menguasai si lemah yang dicabut hak kemerdekaannya. Itulah dunia patriarki, ketika perempuan terpinggirkan dan menjadi second class dari dunianya laki-laki. Kekerasan akibat ketidakadilan gender yang disebabkan adanya bias gender. Kisah pilu mencatat, ketika bangsa India dahulu menguburkan perempuan hidup-hidup bersama suaminya yang meninggal dunia. Sedangkan dalam masyarakat Cina, jika seorang suami mati, istrinya tidak diperbolehkan menikah lagi sepanjang hidupnya. Orang-orang Jerman mempertaruhkan istri mereka di meja judi ketika tidak ada lagi yang bisa dipertaruhkan. Lain lagi dengan orang-orang Sparte, wanita boleh bersuami lebih dari satu orang. Adapun bangsa Yahudi dahulu, melarang perempuan masuk dalam rumah jika haid dan diinapkan di kendang hewan. Mereka juga menjadikan perempuan sederajat dengan pembantu sehingga ayahnya boleh memperjualbelikannya. Sementara dalam peradaban Arab sebelum Islam hadir, perempuan adalah harta benda (mata’) yang bisa diwariskan atau digadaikan sebagai “mut’ah” (kesenangan) dan bisa diperebutkan laki-laki. Di kalangan mereka juga, perempuan dianggap sumber malapetaka dan kesengsaraan sehingga seringkali dianggap wajar untuk dikutuk seperti setan dan pantas untuk dibunuh bahkan dikubur hidup-hidup.
Sisa sejak peradaban masa lalu tentang nasib perempuan, masih berbekas menjadi kenyataan pahit dan terus “terwariskan” hingga di zaman milenial ini. Kekerasan yang dahulu dilakukan oleh bangsa “Barbar” yang diawaki otak dengan awan kegelapan seperti tanpa peradaban, tidaklah merubah kekerasan itu sendiri dari otak yang berteknologi modern terus terjadi sampai sekarang ini. Karena kekerasan sendiri tidak mengenal peradaban, yang ada dalam brending kekerasan adalah kebiadaban dan kezaliman tanpa hati nurani.
Hingga hari ini, sejarah kelam perempuan masih terus muncul dalam berita. Mereka menjadi kelompok rentan yang kerap memperoleh tindak kekerasan, terutama kekerasan seksual, baik di ranah domestik maupun publik. Tren kekerasan seksual yang mencuat dalam beberapa tahun terakhir dalam catatan tahunan Komnas Perempuan, di antaranya kasus kekerasan seksual di lembaga pendidikan, kekerasan siber berbasis gender, kekerasan di transportasi publik, kekerasan seksual di tempat kerja dan kekerasan seksual yang berakhir dengan pembunuhan. Inilah yang mendorong munculnya kampanye Internasional 16 Hari (25 November sampai 10 Desember) Anti Kekerasan terhadap Perempuan terus digalakkan di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Sebagai bangsa yang beradab dan masih memegang kuat adat serta masih menaati agama, kekerasan adalah musuh kita bersama. Kekerasan adalah tindakan zalim yang sangat dimurkai Tuhan. Terus mendukung Gerakan ini adalah kewajiban dan bentuk kepedulian kita bersama dalam mencegah tindak kekerasan terhadap perempuan. Wallahu a’lam (*)