OLEH: Abdul Gafar, Pendidik di Departemen Ilmu Komunikasi Unhas Makassar
Menarik opini yang ditulis oleh Zuly Qodir, sosiolog Universitas Muhammadyah Yogyakarta, “Kemunafikan dan Prostitusi Akademik” di Kompas, halaman 6, Senin, 17 Januari 2022 . Sungguh memiriskan dan memalukan perilaku yang dilakukan oleh mereka yang bergelar akademisi.
Kampus adalah tempat menggodok manusia agar menjadi insan yang cerdas, yang mestinya didukung oleh moralitas yang baik. Adanya persyaratan tulisan di jurnal, apakah itu lingkup nasional, apalagi level internasional, telah “merusak” moral akademisi maupun peserta didik.
Penulis sengaja memilih judul di atas karena memang ada transaksi di antara mereka dalam kampus. Mereka -sebagai pengelola jurnal- atau merupakan sindikat menawarkan jasa penulisan artikel agar dapat termuat. Konsekuensinya adalah terjadi negosiasi menyangkut biaya yang dapat digelontorkan untuk maksud tersebut.
Ada kampus yang mensyaratkan bagi mahasiswa pascasarjana bahwa mereka wajib menulis pada jurnal berakreditasi ataupun setara Scopus. Menulis pada jurnal berskala nasional atau terindeks Scopus merupakan “momok” yang menakutkan bagi mahasiswa. Walaupun ada juga pengakuan dari sejumlah akademisi bahwa menulis di jurnal tersebut biasa saja. Mereka ramai-ramai memamerkan karya tulis yang termuat pada Scopus dalam berbagai tingkatan. Ada kampus yang bangga memajang jumlah karya tulis staf akademiknya yang termuat di Scopus.
Seandainya kita mencoba menelusuri lebih jauh, benarkah karya tulis itu merupakan karya orisinal mulai dari awal hingga lolos terbit? Jawabannya boleh ya, boleh juga tidak. Saat ini banyak orang berlomba mengejar gelar doktor ataupun profesor. Bagi kalangan birokrat cukuplah gelar doktor sudah bergengsi. Namun, bagi seorang akademisi, sebutan guru besar mesti di depan namanya.