Apa yang terjadi dengan penegakan hukum kita. Mengapa Presiden Jokowi berulang kali menyampaikan keprihatinannya. Terlalu banyak keluhan di bidang penegakan hukum. Dimulai ditingkat penyidikan yang kerap dikeluhkan banyak pihak. Presiden sepertinya memahami isu itu. Ia memanggil jajaran Polri dan mengingatkan semua itu. Kapolri juga menyampaikan instruksinya — untuk menghentikan ‘pungli’ hingga ‘setoran’ di jajarannya.
Sebelumnya Jaksa Agung pernah mengingatkan jajarannya — baik yang di daerah maupun pusat — agar jangan bermain proyek. Dia memastikan siapapun yang terlibat akan ditindak tegas dengan dicopot dari jabatannya. Tak hanya itu, bahkan juga akan dikenakan sanksi pidana. Jaksa Agung mengingatkan hal itu karena dirinya merima laporan bahwa masih ada jaksa atau pegawai kejaksaan yang mengganggu dan bermain proyek.
Di tingkat peradilan — Menko Polhukam diminta Presiden untuk mencari formula reformasi di bidang hukum peradilan, sesuai dengan instrumen konstitusi dan hukum yang tersedia. Menurut Menko Polhukam, Presiden Jokowi kecewa karena usaha pemberantasan korupsi yang cukup berhasil di lingkungan eksekutif justru kerap kali gembos di lembaga yudikatif dengan tameng hakim itu merdeka dan independen. Keprihatinan Presiden disampaikan saat KPK meng-OTT Hakim Agung Sudrajat Dimyati. Ketua Mahkamah Agung (MA) Syarifuddin mengaku sedih atas kasus OTT KPK yang berujung penahanan hakim agung Sudrajad Dimyati — meminta semua jajaran peradilan membaca kembali pakta integritas yang mereka pernah ucapkan saat mereka dilantik. Hal ini bertujuan untuk menguatkan kembali komitmen bersama dalam menegakkan hukum dan keadilan.
**
Apa yang dikeluhkan para pimpinan dalam jajaran penegakan hukum ini sesungguhnya sudah tergambar Indeks negara hukum — dimana Indonesia dalam tujuh tahun terakhir stagnan pada skor 0,52-0,53 dalam skala 0-1. Hasil indeks negara hukum Indonesia 2022 yang ada pada skor 0,53 menunjukkan bahwa prinsip-prinsip negara hukum belum terwujud di negeri ini. Dari delapan indikator, ada tiga di antaranya yang sangat buruk. Bahkan, ada yang mengalami penurunan. Tiga terburuk adalah indikator sistem peradilan pidana (dan perdata yang tidak jauh lebih baik), pemberantasan korupsi, dan pemenuhan hak-hak fundamental. Khusus di indikator pembatasan kekuasaan pemerintah, ada penurunan skor 0,01.
Apa yang disampaikan para pimpinan negara — adalah sesuatu yang sebaiknya dilakukan dengan konsisten. Saatnya dilakukan reformasi hukum, baik secara substansi maupun kelembagaan. Reformasi substansi hukum — sebagaimana yang selalu disampaikan oleh banyak pakar — dilakukan dengan cara memperbaiki peraturan perundangan terkait, seperti hukum acara pidana dari yang semula menggunakan rule control model menjadi due process of law agar tidak membuka ruang penyalahgunaan yang sangat tinggi oleh aparat penegak hukum. Sementara reformasi kelembagaan, khususnya institusi penegak hukum.
Untuk melawan praktik korupsi yang tidak selesai-selesai — saatnya untuk segera menyelesaikan dan mensahkan rumusan RUU Perampasan Aset dan RUU Pembatasan Transaksi Tunai. Sebagaimana disampaikan banyak pakar — termasuk yang akan dilakukan Menko Polhukam adalah membenahi peradilan pidana dan juga perdata yang dua-duanya disarati dengan ‘judicial corruption.’
Dalam bukunya Nomoi, Plato menyatakan bahwa penyelenggaraan pemerintahan yang baik ialah yang diatur oleh hukum yang berdaulat. Maka benarlah kata Aristoteles, bahwa suatu hukum bisa berdaulat dengan baik jika ia dilaksanakan dengan pikiran yang adil. **