Musibah apa lagi yang sedang menerpa bangsa ini? Pekan lalu media sempat ramai membicarakan apa yang disebut ‘gagal ginjal akut’. Dalam surat edaran Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Murti Utami pekan lalu — dinyatakan tentang perlunya ‘Penyelidikan Epidemiologi dan Pelaporan Kasus Gangguan Ginjal Akut Atipikal (Atypical Progressive Acute Kidney Injury)’ pada anak.
Hari Jumatnya — Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyatakan total terdata 241 kasus gagal ginjal akut di Indonesia. Dari 241 kasus itu, 133 orang meninggal dunia. Atau 55 persen dari kasus yang ada. Budi mengatakan mayoritas pasien penyakit yang masih belum diketahui penyebabnya ini berasal dari golongan anak-anak, dengan pasien paling banyak bayi di bawah lima tahun (balita).
Kementerian Kesehatan RI pun mengimbau penyetopan segala obat berbentuk cair atau sirup menyusul adanya laporan pasien anak dengan gangguan gagal ginjal akut terdeteksi terpapar tiga zat kimia berbahaya yakni ethylene glycol (EG), diethylene glycol (DEG), dan ethylene glycol butyl ether (EGBE). BPOM mengungkapkan ada lima obat sirup yang dinyatakan mengandung cemaran EG dan DEG diatas batas aman.
**
Di warung kopi seorang dokter dengan lepasnya berkata, sejak dari dulu berbagai obat sirup sudah digunakan tapi tak ada kasus seperti ini. Atau mungkin sudah kedaluwarsa ya? Di saluran televisi kita mendengar diskusi membahas urusan ini. Di media sosial berbagai analisa disampaikan oleh berbagai orang dengan latar keilmuan yang mungkin bukan medis — hingga menyinggung soal vaksin.
Beberapa pakar secara resmi tampil berbicara dan menulis bahasan mereka soal urusan ini. Misalnya, Pakar Farmakologi dan Farmasi Klinik UGM, Prof. Apt. Zullies Ikawati, Ph.D., menegaskan bahwa penyebab gagal ginjal akut pada anak yang terjadi di tanah air masih menjadi sebuah misteri. Menurutnya, belum bisa dipastikan ada tidaknya keterkaitan antara gagal ginjal akut dengan konsumsi obat berbentuk sirup, terutama yang mengandung parasetamol. Apalagi penggunaan sirup obat parasetamol sudah cukup lama dan aman digunakan.
Ia menjelaskan EG dan DEG merupakan satu cemaran yang bisa dijumpai pada bahan baku pelarut pada obat sirup. Pada obat parasetamol dan banyak obat lainnya yang sukar larut air diperlukan bahan tambahan untuk kelarutan, biasanya di Indonesia digunakan propilen glikol atau gliserin. Bahan baku propilen glikol atau gliserin ini dimungkinan mengandung cemaran zat tersebut.
Zullies menyebutkan imbauan untuk tidak menggunakan obat dalam bentuk sirup untuk semua pengobatan menjadi keputusan yang sangat dilematis. Sebab, obat dalam bentuk sirup banyak digunakan untuk anak-anak yang belum bisa menelan obat bentuk tablet atau kapsul. Selain itu, penghentian penggunaan obat sirup ini akan berdampak bagi anak-anak penderita penyakit kronis yang harus minum obat rutin berbentuk sirup dimana dalam penggunaannya selama ini tidak menimbulkan efek samping membahayakan.
**
Apa yang dilakukan pemerintah — adalah upaya maksimal yang tentunya untuk menghentikan makin membesarnya masalah ini. Kementerian kesehatan juga telah mendatangkan Fomepizole dari Singapura untuk mengobati pasien gagal ginjal akut di Indonesia. Budi mengatakan obat itu akan didatangkan usai pihaknya menganalisis penyebab gagal ginjal akut, yakin toksin bukan patogen. Beberapa obat juga sudah didatangkan dari Australia.
Seharusnya kita meyakini bahwa pemerintah sudah melakukan langkah maksimal dalam mengatasi masalah ini. Filsuf Italia Cicero menyatakan, “Salus populi suprema lex esto — keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi bagi suatu negara.” Kita meyakini jajaran Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin sudah melakukan yang terbaik. ***