Oleh: Amir Ilyas, Dosen Ilmu Hukum Unhas
Opini Harian FAJAR yang ditulis sekolega saya, Fajlurrahman Jurdi dalam judul “DPR Mengadu Domba Aswanto dan Guntur” pada 7 Oktober 2022. Perlu diulas dan dikupas lebih lanjut perihal benar tidaknya Prof. Dr. Aswanto dan Prof. Dr. Guntur Hamzah diadu domba oleh DPR.
Dengan saat yang sama kedua orang tersebut dipersepsikan oleh Fajlurrahman Jurdi seolah telah bersepakat terjadi pergantian hakim MK, agar Prof. Aswanto tetap aman dalam jabatannya saat ini.
Lagi, Fajlurrahman Jurdi mengatakan dalam artikelnya tersebut, akan mendudukkan permasalahan ini secara tersamar. Sehingga sudah meniscayakan perlu penelaahan lebih lanjut, apa yang dimaksudkan oleh beliau dalam arti tersamar. Sebab jangan-jangan pandangan beliau yang mengatakan antara Prof. Guntur dan Prof. Aswanto tidak ada permusuhan, justru pembaca atau kita semua harus memaknai kalimat tersebut dalam arti yang sebaliknya.
Tradisi Perkawanan
Kalau dalam pengamatan pribadi saya, penggantian hakim Prof. Aswanto oleh Prof. Guntur bukan sekadar kejadian adu domba yang diprakarsai oleh DPR semata. Tetapi ada semacam tindakan terselubung oleh Prof. Guntur untuk mengerjai Prof. Aswanto. Atau setidak-tidaknya ia hendak mencoba peruntungan di balik kisruh dan faksi-faksi antar hakim MK yang akhir-akhir ini sedang “digoyang” istana dan senayan.
Jelas kurang tepat dan keliru sdr. Fajlurrahman Jurdi jika memandang tindakan Prof. Guntur untuk tetap mengamankan posisi Prof. Aswanto sebagai hakim MK dengan asumsi keduanya selalu saling mendukung dan menopang satu sama lain.
Untuk membongkar maksud penggantian tersebut, berkenaan dengan apa yang melatari atau motif dari Prof. Guntur bersedia menjadi pengganti hakim MK Prof. Aswanto, tidak cukup dengan asumsi politik saja. Tetapi harus dilihat pula bagaimana tradisi perkawanan bagi orang Sulsel dengan karakter khasnya sebagai suku Bugis dan Suku Makassar.
Satu hal yang harus kita akui, semenjak politik minus keadaban mengooptasi setiap sendi-sendi kehidupan. Tradisi perkawanan sudah mulai luntur dengan sikap arogan, merebut kedudukan teman sendiri walaupun dengan cara-cara yang tidak prosedural dan bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Saya kira, tindakan Prof. Guntur dalam konteks ini tidak lagi memegang prinsip kawan yang berjalan seiring satu sama lain. Dalam tradisi perkawanan kita sebagai orang Sulsel, ada satu karakter yang mengental, yaitu biarlah ia hilang wibawa, jabatannya, asal bukan saya sebagai saudara menjadi penyebab, atau menjadi orang yang turut nimbrung dan menceburkan diri pada masalah-masalah yang menimpanya.
Seharusnya sikap itulah yang diambil oleh Prof. Guntur. Berani menolak untuk tidak menjadi pengganti hakim MK Prof. Aswanto atas jurus dewa(n) mabuk lima fraksi di DPR yang menyetujui untuk mengevaluasi masa jabatan hakim MK.
Cari Aman
Terlalu gampang untuk membantah persepsi Fajlurrahman Jurdi, kalau tindakan Prof. Guntur mengiyakan kehendak penggantian hakim MK oleh DPR tidak dalam konteks mengamankan Prof. Aswanto. Simak saja pernyataan Prof. Guntur saat ditanya oleh sembilan orang mantan hakim MK, mengapa ia rela dan mau menggantikan jabatan Prof Aswanto, sebagaimana diberitakan oleh beberapa media cetak dan media online.
Prof. Guntur katanya tidak sama sekali mengetahui sebelumnya kalau hakim MK yang akan ia gantikan adalah Prof. Aswanto.
Jawaban Prof. Guntur ini perlu dianalisis lebih lanjut, apakah ia memang benar tidak tahu hakim yang ia akan ganti? Ataukah ia pura-pura tidak tahu, sebagai alibi menghindari tekanan dari sembilan orang hakim MK?
Jika Prof. Guntur betul tidak tahu hakim MK yang akan ia gantikan. Maka pandangan Fajlurrahman Jurdi perihal Prof. Guntur dan Prof. Aswanto telah bersepakat sebelumnya, gugur dengan sendirinya. Sudah pasti tidak ada pembicaraan sebelumnya, mereka dalam posisi saling mengamankan.
Dan jika keadaan yang kedua kejadiannya, Prof. Guntur pura-pura tidak tahu, hakim MK yang akan ia gantikan, maka boleh jadi ia sedang cari aman. Cari aman seolah-olah tidak ada perseteruan dengan Prof. Aswanto, seolah-olah juga tidak ada kesalahannya, karena di balik penggantian itu dia hanya mengikuti kehendak pihak tertentu. Entah kehendak sebagian hakim MK atau gabungan kehendak MK dan DPR. Tambah satu lagi, mungkin ada juga kehendak istana.
Tulisan sdr. Fajlurrahman Jurdi tidak lain, hanyalah konfirmasi dari taktik tersamar Prof. Guntur untuk meredam kecurigaan sekoleganya kalau ia tidak menikam dari belakang kawannya sendiri. Di balik itu semuanya, tetap besar harapannya untuk menjadi hakim MK, sembari menunggu bagaimana sikap Presiden, sebagai saudara ipar Ketua MK yang bertindak untuk dan atas nama pengirim surat “konfirmasi” masa jabatan hakim MK yang pernah diusulkan oleh DPR.
Kekuasaan memang besar godaannya, bukan hanya soal materi tetapi juga soal prestise. Dengan kekuasaan kadang orang kalap, dan lupa akan seluruh aturan untuk menjadi pedoman hidupnya. Berbuat dan bertingkah laku tidak seperti apa yang pernah diujarkan, dan diajarkannya bertahun-tahun. (*)