Ia yang merupakan alumni di madrasah tersebut juga menjelaskan, setelah kejadian tersebut, narasi itu berkembang. Ia meminta anaknya untuk tetap bersabar dan memilih diam, untuk fokus belajar.
“Saya sudah bilang sama dia (anak) ini adalah hukum. Saya sudah menempuh beberapa jalur. Ke wali kelas dan wakil kepala madrasah untuk membuat forum. Tetapi sampai sekarang belum ada,” pungkasnya.
Ia pernah menyarankan kelebihan pembayaran baju porseni untuk dialokasikan pada pengadaan CCTV kepada wali kelas. Sebab, siswa seringkali bertengkar.
“Entah kenapa obrolan saya dengan wali kelas itu sampai ke orang tua murid yang lain,” imbuhnya.
Hal lain yang menjadi kecurigaannya, adalah alur kas paguyuban yang tidak transparan. Sedangkan banyak pembayaran seperti uang bulanan dan biaya tahfiz.
Awal mulanya, paguyuban itu dibentuk atas dasar mendukung program sekolah pada kelas tersebut. Namun terlalu banyak intervensi terhadap aktivitas pendidikan di sana.
“Orang tua pengurus inti tiap hari Minggu ke sekolah. Kalau seperti itu, anak-anak akan tinggi diri. Bagaimana yang orang tuanya di luar kota, atau jarang ke sekolah, akan merasa minder. Biar struktur kelas, interior kelas, itu paguyuban semua yang kerjakan. Pengurus inti nanti setelah dikerjakan, baru diinfokan ke orang tua siswa lain,” urainya.
Menurutnya, transaksional di sekolah hanya pada komite sekolah. Uang tambahan seperti tahfiz, bilingual dan lainnya, sebaiknya tidak melalui paguyuban. Hal ini sudah dibicarakannya dengan DPRD Makassar, Dinas Pendidikan Makassar, dan dilaporkan ke Ombudsman.