Oleh: Arfan Maulana Palippui, Presiden Intelektual Muda Bulukumba/Pegiat di literasi, budaya, dan ekologis
Isu kerusakan lingkungan merupakan isu sentral, yang dalam bahasa Frans Kafka tidak boleh dilihat sebagai kewajaran semata. Bunyi genderang perang lawan krisis perubahan iklim dengan efek gas rumah kaca terus didengungkan.
Berangkat dari titik balik sejarah wacana mengenai konservasi lingkungan dan migitasi bencana yang terus diperbaharui, serta komitmen menempatkan misi masa depan bumi dalam net zero emission pada tahun 2060 nanti. Target utamanya adalah penurunan emisi karbon CO2 dan dorongan gaya hidup hijau ramah lingkungan.
Seiring dengan perkembangan dunia yang semakin multidimesi, dorongan pertumbuhan ekonomi nasional, nampaknya juga berefek pada makin menjamurnya industri ekstraktif seperti tambang, yang tata-pelaksaannya tanpa memperhitungkan daya dukung dan daya tampung lingkungan. Dari arah kebijakan, penindakan oknum-oknum perusak ekosistem lingkungan masih terlalu ngaret dan belum secara tegas. Menjadi kontras seolah ada skenario kongkalikong di balik panggung, terselubung dalam dalil kekebalan hukum.
Fakta yang luput menjadi catatan kaki adalah bentuk lain dari kegagalan dalam memahami dan mempraktikan prinsip-prinsip ekologis. Sangat terang dalam mobilisasi serampangan seperti pengembangan pembangunan infrastruktur raksasa, penebangan pohon liar yang merusak ekositem flora dan fauna. Benang merah dari segala sengkarut permasalahan pada bidang lingkungan adalah kebebalan dan keserakahan manusia.