Begitu juga dengan peristiwa yang melanda Sri Lanka semakin meningkatkan kekhawatiran negara dalam status rentan. Bloomberg bersama CMA dan International Monetary Fund (IMF) telah melakukan studi tingkat kerentanan utang negara (sovereign debt vulnerability) atas 50 negara berkembang. Studi itu mengurutkan negara paling rentan berdasarkan empat indicator; tingkat imbal hasil dari surat utang negaranya, spread dari credit default swap 5 tahun (5Y-CDS), tingkat beban bunga (interest expense) terhadap produk domestik bruto (PDB) dan tingkat utang negara terhadap PDB.
Indonesia memang berada di peringkat ke-34 dari 50 negara berkembang dalam hal tingkat kerentanan utang negara. Namun, dibandingkan dengan negara-negara di Asean yang ada dalam daftar tersebut, Indonesia merupakan negara paling rentan dengan kondisi imbal hasil surat utang negara (SUN) 4,8 persen, spread 5Y-CDS 145 bps, beban bunga 2,6 persen terhadap PDB dan utang 42,7 persen terhadap PDB.
Kedua, kurangnya kemampuan (produktivitas, kreativitas dan inovasi) pemerintah untuk menambah pemasukan Negara demi melangsungkan dan menuntaskan keputusannya, seperti utang pemerintah yang melambung tinggi, proyek IKN dan kereta cepat, dana KPU untuk pemilu 2024 hingga saat ini belum mencapai angka 50% dan lainnya.
Dan sialnya, pemerintah malah membebankan semua kondisi di atas kepada masyarakat di tengah situasi masyarakat sedang tertatih bangkit dari multi dentuman yang disebabkan oleh Pandemi Covid-19. Setelah mengambil kebijakan menaikkan tarif dasar listrik beberapa bulan lalu, pada bulan ini ditambah dengan mencabut subsidi BBM. Perilaku pemerintah demikianlah yang kemudian menyebabkan aksi protes/demonstrasi seminggu penuh di berbagai daerah dan di pusat selang dua hari sejak berlakunya pencabutan subsidi BBM.