Oleh : Hasrullah
(Kilas balik opini “mimpi” Aswar Hasan)
SOROTAN TAJAM diwacanakan oleh pemikir sekaliber Aswar Hasan, terkait Internasional Eight Festival and Forum (F8) menarik untuk dikonstruksikan ulang dalam menata dan mempersepsi kota Makassar sebagai “kota dunia” (Fajar/11/9/2022). Inti dari F8 dianalisis dari konstruksi media dan realitas sosial, F8 mulai berbayar seperti yang dikeluhkan masyarakat, terhadap event negara/pemerintah mulai dibisniskan dan “berselingkuh” dengan swasta atas nama masyarakat.
Pemikiran kritis itu dibenarkan bahwa Pantai Losari sebagai wadah dan tempat ruang publik, penguasa menggunakan “tangan besi” untuk kepentingan bisnis sehingga apa yang disampaikan Gripsund dan Habermas sebagai ilmuan sosial (1989-1992), di ruang publik, dimanfaatkan sebagai ranah kehidupan sosial. Artinya, siapa pun itu orangnya, atau penguasa “diharamkan” untuk dieksploitasi demi kepentingan rakyat, bukan penikmat penguasa.
Bukankah, pembiayaan awal terlaksana F8 menggunakan uang rakyat dengan dianggarkan di APBD DPRD kota Makassar? Kritik pedas dari sahabat Aswar Hasan dibagian lain yang “menilai”, bahwa Wali Kota Makassar saat ini mulai menunjukkan perilaku yang tidak memihak rakyatnya. Simak narasi lengkapnya: “Wali Kota Makassar mendukung kebijakan Presiden RI, Jokowi, menaikan harga BBM subsidi”. Pernyataan Wali kota ini sangat melukai perjuang mahasiswa kelas bawah sehingga pemerintah kita di daerah ini seperti “menjilat penguasa” dan “menekan perjuangan mahasiswa “ demi kepentingan sesaat.
Dramaturgi dilakonkan Wali Kota kelihatannya tidak lagi berpijak untuk “rakyat” baik untuk kepentingan maupun atau ruang publik maupun perjuangan mahasiswa. Lakon tokoh yang ditunjukkan sebuah pentas eksploitasi sosial yang jauh dari hati Nurani Rakyat.
Jangan sampai Wali Kota kita mempunyai konsep dan pemikiran “mendunia” ini, tapi tidak realitas kebijakan pemerintahannya bagaikan langit dan bumi. Dengan kata lain, pikiran dan imajinasi beliau berada diangan-angan atau lebih tegasnya “Republik Mimpi”, sehingga beliau beralusinasi dalam menjalankan program kerja. Kota Makassar sebagai kota dunia menjadi realitas mimpi yang tidak membumi jauh dari kebutuhan masyarakatnya.
Celakanya, ketika Wali Kota Makassar “bangun dari tidur”, ternyata kota Makassar tidak hanya hingar-bingar tentang F8. Ketika sadar, sesadarnya, Makassar kota dunia ternyata fisik beliau ada di daerah; Karawisi, Bunga Ejaya Kandea, Pasar Panampu, Pasar Terong, pinggir sungai Tallo, Abubakar Lambogo, dan Bara-baraya yang terkesan kumuh dan sangat rawan tawuran dengan anak panah.
Sementara itu, mengakhiri ilusi republik mimpi, ada baiknya kembali mengutip pendapat akhir dari tulisan Aswar secara tegas mengatakan: Pemerintah kota Makassar tidak Pro Rakyat. “Berhentilah berkomentar yang bisa melukai rakyat soal F8 dan kota dunia. Sebaik Wali Kota segeralah bangun dari tidur agar tidak selalu berada di Ilusi “Republik Mimpi”?