Sudah beberapa lama ini, sejak internet dikenal dan manusia berinteraksi di dalamnya atau dunia maya, istilah netizen lebih sering dibaca dari pada istilah citizen, istilah yang jauh lebih tua dikenal manusia ketimbang istilah netizen. Istilah citizen sudah dikenal lama di sekolah-sekolah. Citizen adalah padanan kata warga. Atau, warga negara. Di antara ciri warga negara ialah berkartu tanda penduduk (KTP). Citizen juga beralamat tempat tinggal dan beberapa identitas lainnya, sebagai tertulis di KTP-nya.
Adapun istilah netizen merupakan gabungan dari kata interNET (dunia maya) dan citIZEN (atau warga). Netizen adalah warga internet atau warga dunia maya. Yaitu seseorang yang aktif terlibat dalam komunitas maya atau Internet pada umumnya. Tidak seperti citizen, netizen tidak ber-KTP dan tidak berkartu lainnya di mana identitasnya bisa dibaca sebagai membaca identitas citizen di KTPnya. Netizen berada dan tinggal di maya meski tanpa rumah. Netizen berkeliaran di dunia maya yang jalannya multilintas, multi tikungan, multiperempatan, multipersinggahan. Keriuhan jaringan lintas jalan netizen bukan membisingkan telinga seperti citizen berlalu lalang di jalan raya. Kebisingan dunia maya ter”dengar” di pikiran dan hati para netizen. Tulisan, gambar, ucapan, video, simbol, kode, dan lain-lain yang serupa itu, penuh menyesaki kegemuruhan interaksi netizen di dunia maya.
Netizen satu sama lain saling berkomunikasi di media sosial (medsos). Medsos adalah “sebuah media untuk bersosialisasi satu sama lain dan dilakukan secara online yang memungkinkan manusia untuk saling berinteraksi tanpa dibatasi ruang dan waktu”. Jenis medsos yang banyak digunakan di antaranya adalah Whatsapp. Media sosial yang paling banyak digunakan adalah Whatsapp (WA), Instagram, Youtube, Tiktok, dan lain-lain, seperti Twitter.
Bagi pengguna dan penggiat medsos, atau netizen, dunia maya sesungguhnya terasa lebih ramai ketimbang dunia nyata. Juga lebih bebas. Dan, tak jarang menerobos norma kepatutan saking bebasnya. Ketika warga negara (citizen) menghadapi tantangan dalam kehidupan nyata, netizen terbelah menyikapi tantangan itu. Sebagian netizen bersikap prihatin dan mencoba menawarkan pikiran positip guna menghadapi tantangan tersebut. Sebagian netizen lainnya bersikap mengejek dan seolah menumbuhkan sikap negatip tanpa tawaran solusi terhadap tantangan tersebut.
Kedua sikap netizen tersebut terbaca ketika kita menyimak dan mengakses percakapan mereka di medsos. Ada netizen mencoba menjaga semangat citizen (warga masyarakat) untuk tetap optimis di dalam menghadapi tantangan kehidupan. Ada juga netizen mengompori (menggoreng) citizen agar membenci pemerintah yang dianggap sebagai penyebab kesusahan hidup.
Bagi saya, dua wajah netizen itu mengherankan. Karena, baik netizen yang bersikap optimis menghadapi tantangan maupun netizen yang bersikap pessimis, keduanya mungkin dari kalangan yang cukup beragama. Di situlah anehnya. Agama yang berprinsip menjaga semangat dan sikap optimis-positip di dalam menghadapi tantangan dan kesulitan, justeru di medsos, bisa ditemukan sebaliknya dari netizen yang beragama. Agama seringkali memang formal belaka. Padahal seharusnya, nilai luhur agama itu mesti terpancar dari baik sebagai citizen maupun netizen. (*)