FAJAR, MAKASSAR-Golput masih menjadi pekerjaan rumah bagi penyelenggara Pemilihan Umum (Pemilu). Pada Pemilu 2024, Komisi Pemilihan Umum (KPU) pun harus berupaya menekan angkat golput.
Menurut situs Rumah Pemilu, golput adalah singkatan dari golongan putih yang berarti memilih untuk tidak memilih. Pilihan ini merupakan bagian dari hak pilih bagi negara yang menempatkan memilih sebagai hak, bukan kewajiban.
Pada Pemilu 2019, angka partisipasi Pemilihan Presiden (Pilpres) di Sulsel mencapai 78,2 persen. Angka ini memang melampaui target Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI yakni 77,5 persen. Meskipun begitu, menghadapi Pemilu 2024, KPU Sulsel harus tetap menekan angka golput ini agar partisipasi pemilih mengalami kenaikan.
Salah satu kebijakan KPU Sulsel dengan memasifkan sosialisasi. “Sosialiasi ini melalui sosial media maupun sosialisasi secara langsung ke masyarakat,” ujar Komisioner KPU Sulsel, M Asram Jaya saat menerima kunjungan mahasiswa Ilmu Politik UIN Alauddin Makassar, Senin (15/8/2022).
Menurut Asram, golput terbagi atas tiga jenis yaitu, golput idealis, golput anti politik, dan golput karena memang tidak terdaftar sebagai pemilih. Golput juga sepenuhnya bukan menjadi tanggung jawab KPU, karena golput adalah hak warga negara.
“Ibaratnya wasit dalam permainan sepak bola antara PSM Makassar dan Persija, sedikitnya penonton di Stadion bukan kesalahan wasit,” tutur Asram menganalogikan.
Dosen Politik UIN Alauddin Makassar, Reskiyanti melihat golput tidak selamanya berdenotasi sebagai gerakan ideologis, tetapi bisa jadi golput karena masalah administrasi data pemilih. Contohnya, seseorang tidak menggunakan hak pilihnya karena tidak punya surat undangan memilih dan mereka juga enggan atau malas untuk mengurus persoalan administrasi.
“Ada pula yang memilih golput karena merasa tidak penting untuk menggunakan hak pilihnya dan memilih tidur atau berlibur pada saat hari pemilihan (pemungutan suara),” ujarnya.
Menurut Dosen Politik UIN Alauddin Makassar ini, metode sosialisasi tidak selamanya layak digunakan untuk menekan angka golput. Bisa dengan menggunakan berbagi metode lainnya seperti, jemput bola, kolaborasi dengan adhoc dan RT/RW memastikan semua yang terdaftar di Kartu Keluarga (KK) lingkungannya dan memenuhi syarat sebagai pemilih yang memiliki undangan memilih.
Hal lainnya, bisa juga dengan memberikan semacam door prize sederhana untuk pemilih yang datang memilih dengan undian nomor surat suaranya. “Hadianya tidak perlu mahal, tetapi bisa menstimulus orang untuk datang ke TPS,” tuturnya.
Reskiyanti menyarankan agar ada kreativitas yang wajib dilakukan di masing-masing Tempat Pemungutan Suara (TPS) selain Standar Operasional Prosedur (SOP) pemungutan suara. “Jadi TPS yang unik, kreatif dan partisipasi 100 persen pemilihnya juga harus diapresiasi oleh KPU dalam bentuk hadiah bagi petugas KPPS-nya,” ungkapnya. (*/ham)
Penulis: Muthmainnah Azis, Mahasiswa Praktik dari Ilmu Politik UIN Alauddin Makassar di Harian FAJAR.