Namun apa yang dibayangkan Belanda tidaklah seindah dengan kenyataan. Besseq Kajuara malah lebih berani dari suaminya. Ia memerintahkan semua perahu yang berlabuh di Bajoe untuk membalikkan bendera Belanda. Dia juga memerintahkan para pemberaninya untuk mencuri kuda tunggangan DR. Benyamin Frederik Mathess dan rombongan, seorang misionaris Belanda yang bertugas di Sulawesi Selatan, dan kebetulan ketika itu akan berunjung ke Bone lewat jalur darat. Ketika beristirahat di Sumpang Labbu, para pemberani itu beraksi, mencuri kuda tunggangan mereka. Akibatnya DR. B.F. Matthess bersama rombongan terpaksa jalan kaki pulang dari pasanggaran Sumpang labbu ke Camba. Dua perbuatan Besseq Kajuara tersebut membalikkan bendera Belanda dan mencuri kuda DR. BF. Mathess adalah tamparan dan penghinaan besar bagi Belanda. Akibatnya, Belanda sangat murka, yang selanjutnya memicu terjadinya perang yang sangat dahsyat yang dipimpin langsung oleh Besseq Kajuara dengan srategi perang taktik gerilya. Belanda cukup kewalahan sehingga beberapa kali meminta bantuan tentara dari Batavia.
Apa yang telah diuraikan di atas, dapat kita lihat dua hal yang sangat penting dan berpengaruh dalam hidup Andi Mappanyukki. Pertama, ia mewarisi jiwa kesatria dan perlawanan yang sangat dahsyat dari nenek dan kakeknya, sepasang suami istri yang bergantian menjadi raja Bone, yang sangat gigih melawan Belanda. Kedua, mewarisi darah bangsawan yang sangat kental, campuran Bugis, Makassar, Luwu, tiga kekuatan besar yang menjadi pilar kekuasaan di Sulselbar. Karena itu, tidak heran kalau Andi Mappanyukki sebelum menjadi bupati Bone setelah kemerdekaan Indonesia, ia pernah diangkat menjadi Datu Suppa- salah satu kerajaan dalam wilayah kekuasaan Ajattapareng – pada usia 16 tahun. Kemudian diangkat menjadi Arung Mangkau Bone (gelar bangsawan tertinggi di kerajaan Bone) yang ke-32 dengan gelar Sultan Ibrahim. (bagian satu/*)