Seusai tahiyat, saya mulai mengali-ngali, ternyata, harus berdiri paling kurang 11,5 jam untuk menyelesaikan 20 rakaat, plus tiga rakaat salat witir. Sementara ini baru rakaat kedua.
Untung ini salat sunah, sehingga pikiran yang mulai buyar, bisa dikendalikan dengan fokus kembali tanpa membatalkan sarat sah gerakan salat. Persoalan pahala, Allah yang maha mengetahui. Kata ustaz, “Jika bisa full mengikuti, berarti full juga pahalanya, jika sesuai kemampuan, maka sesuai itu pula pahalanya. Satu huruf Alquran, bisa dapat 70 pahala. Itu kalau kita makmum.”
Godaan demi godaan merasuk untuk tidak sanggup berdiri menyelesaikan secara full salat sambil baca Alquran mengikuti imam. Godaan berikutnya adalah di pinggang. Kram-kram di paha makin menjalar naik ke pinggang. Namun, ketika melirik lagi jemaah 78 tahun itu, tiba-tiba keinginan untuk mundur, setidaknya istirahat beberapa rakaat, kembali batal.
Tidak terasa, rakaat kelima tengah berlangsung. Ini berarti, kami sudah berdiri 2,5 jam. Godaan baru pun muncul, mulai menguap (mengantuk), dan lapar. Namun, energi baru pun muncul. Tiba-tiba nalar berjalan. Saya membayangkan beberapa pekerjaan yang lebih berat , yaitu ketika mencangkul di kebun, di bawah terik matahari sambil menahan lapar. Saya juga bayangkan ketika begadang semalam suntuk yang nilai ibadahnya lebih kurang.
Dalam hati, “Pekerjaan seperti itu saja, saya bertahan, masak pekerjaan yang nilai ibadahnya begitu tinggi di bulan Ramadan ini, tidak bisa saya lakukan.”