OLEH: Mujibur Rahman, Penggiat di Rumah Baca RUMI
Budaya itu tidak hanya sistem nilai, tata aturan, atau perangkat kaidah mengikat, mengakar, bahkan mengait. Budaya juga masuk dalam ritme kisah, alur pergolakan, dan ruang perjalanan panjang tentang manusia. Dianut dan dijalankan dengan keluhuran penuh keseimbangan hidup alam dan manusia.
Alam dan manusia dalam posisi yang seimbang dan keteraturan, memliki pola saling bergantung antara yang satu dengan yang lain. Dalam perspektif universalitas, keduanya terhubung apabila bisa saling memahami tanda dan simbol satu sama lain. Manusia sebagai mahluk yang menghuni bumi, harus peka dengan gejala alam, agar nantinya mampu memahami aspek holistik manusia dan alam.
Sebelum agama Islam datang, manusia bugis telah memiliki paham spiritualitas toriolo dan memiliki bissu yang menjadi sosok yang mampu menjadi pembaca tanda, penutur bahasa, penyambung maksud hajat manusia bumi dengan dunia atas dan dunia bawah yakni bissu. Tak dapat dipungkiri, keberadaan bissu sebagai panrita riolo telah memberikan gambaran dan bangunan kisah dengan segala pergolakan yang telah dilalui.
Langgam rapal doa sang bissu, gerak alunan tubuh yang mengalun bagai air, adalah ruang kontemplasi seorang manusia. kakinya berpijak ke bumi, lantunan harap penghubung manusia bumi dengan penghuni langit, secercah harap yang terbangun dengan isyarat sebagai tanda kedekatan dengan Sang Pencipta.
Bukankah Tuhan telah menciptakan segala sesuatu dengan sia-sia. Kebermanfaatan dan keimanan seseorang siapa yang bisa menakar. Tak ada bentuk yang dinilai, tak ada ruang tak luput, isi hatilah yang ternilai. Keberadaan bissu, acapkali dipuja sebagai khazanah budaya, di sisi lain, dikira aib dengan mengidentikkannya dengan calabai.