English English Indonesian Indonesian
oleh

Di Mana Ada Kekuasaan, di Situ Ada Keberpihakan

OLEH: Nurfadillah

Master Studi Agama dan Resolusi Konflik, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Seminggu telah berlalu pasca perayaan Hari Jadi Bone (HJB), isu yang sempat memanas antara Bissu dan sekelompok elite penguasa yakni pemerintah masih saja hangat untuk diperbincangkan dan menuai pro-kontra antara kedua belah pihak. Bagaimana tidak, sejatinya Bissu bukanlah sebuah ikon budaya atau maskot dalam sebuah perayaan, karena mereka memiliki peran yang sakral di masyarakat dan sebagian hajat masyarakat masih bergantung pada Bissu.

Namun, peristiwa yang terjadi pada HJB beberapa hari yang lalu, memanifestasikan Bissu hanya sebagai maskot budaya Bone. Hingga terjadi pergeseran peran dari aktor menjadi penonton. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, karena Bissu tidak diberikan panggung pada perayaan HJB.

Mungkin ada beberapa kalangan yang beranggapan hal ini tak perlu dibesarkan-besarkan, hanya karena Bissu tidak diberikan panggung di perayaan HJB, lagi pula kegiatan itu hanya hitungan jam, toh tanpa Bissu perayaan ini pun tetap terlaksana. Tetapi berawal dari sini secara tidak langsung peristiwa tersebut akan menghilangkan kesakralan Bissu dalam jangka panjang. Perannya yang sakral akan berbalik menjadi profan.

Pada dasarnya pergeseran peran adalah sebuah keniscayaan, karena setiap fase ada masanya. Mungkin hal itulah yang sampai saat ini dirasakan oleh Bissu, karena perannya makin ke sini makin dikebiri. Sampai hari ini role conflict masih dialami oleh Bissu, situasi dimana Bissu dihadapkan pada peran yang berlainan. Robbins & Judge (2009) mengatakan bahwa ketika seseorang dihadapkan pada pengharapan peran yang berlainan maka akan menghasilkan role conflict (konflik peran).

News Feed